Monday, December 29, 2008

Sunday, December 28, 2008

Thursday, December 18, 2008

Friday, December 5, 2008

mastitis

Sunday, November 30, 2008

ada dikit perubahan

sedikit perubahan ada pada blog saya ini.
tapi semoga tidak mengganggu kalian semua dalam membaca diary ku ini. 

Friday, September 19, 2008

enzim lactoperoxidase memang ringkih

Meneliti enzim lactoperoxidase memang sungguh menguras tenaga dan pikiran. Enzi m ini unik, karena performan nya tidak sama dengan kebanyakan enzim susu lainnya. Disamping mempunyai khasiat untuk antibakteri ampuh di dalam susu (bahkan dengan bertahannya enzim ini, susu mampu bertahan hingga 24 jam tanpa populasi bakteri yang membahayakan). Sayangnya satu yaitu rentan dan mudah rusak. Akibatnya, kekhasiatannya untuk membunuh bakteri, jadi hilang.

Aksi membunuh ini karena enzim ini, akan bekerja sama dengan senyawa native di dalam susu memproduksi yang namanya senyawa hypothiocyanate. Senyawa inilah yang bertugas sebagai peluru dan mampu merusak dinding sel bakteri.

Keringkihan enzim ini terbukti dengan berkombinasinya senyawa antioksidant. Kehadiran senyawa dengan antioksidan tinggi, akan betul betul menghambat kerja enzim ini. Sampai saat ini masih saya teliti untuk mencari tahu mekanismenya.

Tunggu kabar saya selanjutnya ya.

Thursday, June 19, 2008

peroxidase dan saliva




Monday, June 9, 2008

ini dia pembuatan keju




Tuesday, May 6, 2008

Saturday, May 3, 2008

Mengapa Halal, Mengapa Haram (akbaramaru.com)

Dari akbaramaru.blogspot.com:

Salah satu teman saya, seorang non-muslim pernah nanya ke saya, 'kenapa dalam Islam banyak banget aturan ini dan itu. Kenapa harus ada halal dan haram. Bukankah halal dan haram itu sangat tergantung kepada siapa yang melihat? Jadi mengapa Islam melabelkan satu hal haram sedangkan hal tersebut halal bagi umat lain? Bukankah kita sama-sama manusia?

Sebelum saya menjelaskan beberapa hal di atas, perlu diketahui satu hal, bahwa setiap muslim yang taat yakin bahwa apapun yang telah diharamkan oleh Allah pasti punya alasan yang kuat.

Coba kita ambil contoh: Darah.

Bagi muslim, haram hukumnya memakan atau meminum darah, untuk alasan apapun. Sedangkan bagi umat lain darah bukan sesuatu yang haram. Lalu mengapa Islam melarang umatnya untuk mengkonsumsi darah?

Dalam darah (manusia atau hewan) terdapat senyawa atau zat yang dinamakan Uric Acid (Asam Urat). 98 persen Uric Acid dalam tubuh dikeluarkan dari darah oleh ginjal yang kemudian di buang oleh air seni. Kita mungkin tahu bahwa apabila terlalu banyak mengkonsumsi 'Jeroan' maka asam urat kita bisa tinggi, karena jeroan tempat yang langsung berhubungan dengan darah, sehingga di situ terdapat Uric Acid yang tinggi. Bisa dibayangkan, hanya berhubungan langsung dengan darah saja membuat sesuatu menjadi berbahaya, apalagi langsung mengkonsumsi darah?

Contoh lain lagi, Islam memiliki hukum yang jelas dalam memotong hewan, yaitu harus menyebut nama Allah dan memotong hewan tersebut di urat nadi leher tanpa boleh merusak organ/urat lainnya. Kenapa ada peraturan seperti ini? Bukankah menyembelih hewan dengan cara apapun bisa?

Ketika kita menyembelih hewan langsung di urat nadi leher, maka hewan akan langsung mati tanpa merusak organ lain dalam tubuhnya. Ini akan membuat si hewan mati karena kehabisan darah dan bukan karena rusak organ tubuhnya. Ini penting karena bila si hewan mati karena rusak organ tubuhnya, maka daging si hewan akan terkontaminasi (salah satunya oleh zat Uric Acid) sehingga berbahaya untuk dikonsumsi. Baru beberapa tahun terakhir saja ahli makanan seluruh dunia bahwa tekhnik yang diajarkan islam ribuan tahun yang lalu ini terbukti sangat baik untuk kesehatan.

Lalu mengapa Islam melarang makan Babi? Babi tidak memiliki leher, karena itu ia tidak bisa disembelih melalui leher sehingga kematian babi sudah bisa dipastikan karena kerusakan organ. Selain itu dalam tubuh Babi banyak sekali terdapat inang atau parasit yang tidak bisa mati walau sudah dimasak dalam suhu tinggi. Ketika kita makan Babi tersebut, maka parasit itu akan berpindah dan hidup dalam tubuh kita. Kalau kamu suka tubuh kamu dihidupi oleh parasit yag sebelumnya hidup di tubuh Babi, ya silahkan saja.

Lactoperoxidase (LPO) System

Friday, May 2, 2008

laktoperoksida

Laktoperoksida tidak sama dengan laktoperoksidase

enzim di dalam susu, bukan laktoperoksida melainkan laktoperoksidase.

Protein Antimikroba dalam Susu (laktoperoksidase, lisosim, dll)

Oleh
Rochman Naim
Dosen Fak. Kedokteran Hewan IPB


SUSU mengandung beberapa protein yang memiliki aktivitas antimikroba yang meliputi laktoferin, dalam proteksi terhadap mastitis (radang kelenjar susu), proteksi terhadap pertumbuhan bakteri setelah pemerahan (pascapanen), dan proteksi orang yang mengonsumsi susu (terutama segar).

Susu dari spesies yang berbeda mengandung jumlah protein yang berbeda dari berbagai faktor antimikroba. Susu sapi memiliki laktoperoksidase yang tinggi, tetapi laktoferin, dan lisosim yang rendah.

Sedangkan air susu ibu (ASI/manusia) memiliki laktoferin dan lisosim yang tinggi, tetapi laktoperoksidase rendah. Kemampuan untuk mengubah aktivitas dari faktor antimikroba ini dalam susu sapi dapat memiliki suatu dampak pada umur susu segar dan pengembangan makanan kesehatan dan fungsional yang berbasis pada faktor tersebut.

Sejumlah protein yang ditemukan dalam susu di bawah berbagai kondisi memperlihatkan aktivitas antimikroba. Sebagai contoh, imunoglobulin (antibodi) merupakan protein protektif yang penting dalam transfer imunitas pasir dari ibu (induk) kepada bayi yang baru lahir.

Bayi yang baru lahir dari banyak spesies mamalia tidak dilahirkan dengan sistem imunitas yang efektif. Imunoglobulin memproteksi bayi yang baru lahir dari infeksi sampai sistem imunitas yang mereka miliki berkembang. Imunoglobulin merupakan suatu komponen dari mekanisme pertahanan tubuh yang alami.

Mereka disintesis dalam respons terhadap keberadaan partikel/benda asing seperti bakteri dan virus. Proses sintesisnya spesifik untuk partikel asing yang ada, yang menghasilkan suatu struktur immunoglobulin yang mampu mengenal partikel asing dan mengeliminasinya dari dalam tubuh.

Imunoglobulin ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam kolostrum (susu pertama setelah kelahiran) dan konsentrasi rendah dalam susu. Selain imunoglobulin, protein-protein lain yang ditemukan dalam susu yang memiliki aktivitas antimikroba adalah laktoferin, laktoperoksidase, lisosim, dan NAGase.

Laktoferin, glikoprotein pengikat besi (ferrum), yang pertama sekali diisolasi dari susu sapi dan selanjutnya dari ASI. Laktoferin ada dalam jumlah besar dalam sekresi mamalia seperti susu, air mata, saliva, dan cairan seminal, sebagaimana pada beberapa sel darah putih.

Laktoferin merupakan salah satu protein minor yang secara alami ada dalam susu sapi pada konsentrasi rata-rata kira-kira 0,2 gram/liter. Dalam kolostrum, kandungan laktoferin dapat setinggi 0,5-1 gram/liter.

Pada ASI dan kolostrum mansuia, konsentrasi laktoferin, berturut-turut, adalah 2-4 gram/liter dan 6-8 gram/liter. Dalam kondisi alami, laktoferin hanya sebagian yang tersaturasi dengan besi (5-30 persen). Laktoferin memiliki beberapa fungsi biologik, yaitu aktivitas antibakterial/antiinflamatori, pertahanan terhadap infeksi gastrointestinal, partisipasi dalam sistem imunitas sekretori lokal yang bersinergis dengan beberapa imunoglobulin dan protein protektif lainnya, merupakan protein antioksidan pengikat besi dalam jaringan, dan promosi pertumbuhan sel hewan seperti limfosit dan sel intestinal.

Kebanyakan mikroorganisme membutuhkan besi untuk pertumbuhan dan laktoferin memiliki potensi untuk menghambat pertumbuhan bakteri, dan bahkan membunuh mereka dengan menghambat kebutuhan besinya.

Telah diperlihatkan bahwa laktoferin alami bersifat bakteriostatik terhadap sejumlah mikroorganisme, meliputi bakteri Gram-negatif dengan kebutuhan besi yang tinggi (coliform; penyebab utama mastitis), dan juga terhadap beberapa Gram-positif seperti Staphylococcus aureus (juga penyebab utama mastitis), spesies bacillus, dan Listeria monocytogenes. Bakteri asam laktat dalam lambung dan intestin memiliki kebutuhan besi yang rendah dan secara umum tidak terpengaruh oleh lakktoferin.

Laktoperoksidase

Enzim perioksidase dapat membunuh bakteri dengan mekanisme oksidatif. Aktivitas perioksidase terdapat dalam berbagai sekresi kelenjar eksokrin yang meliputi saliva, air mata, sekresi bronkhial, nasal, dan intestinal, sebagaimana susu. Peroksidase susu dikenal sebagai laktoperoksidase yang merupakan salah satu protein protektif non-imunoglobulin dan enzim yang menonjol dalam perannya memproteksi kelenjar susu terhadap invasi mikroba.

Setiap molekul laktoperoksidase mengandung satu atom besi. Susu sapi mengandung laktopeperioksidase dengan konsentrasi kira-kira 0,03 gram/liter. Pada kolostrum sapi, kandungan laktoperoksidase sangat rendah, tetapi meningkat cepat setelah 4-5 hari postpartum. Level aktivitas laktoperoksidase pada ASI kira-kira 20 kali lebih rendah daripada yang ada dalam susu sapi.

Laktoperoksidase sendiri tidak memiliki aktivitas antibakterial. Namun, bersama-sama dengan hidrogen perioksida dan thiosianat, laktoperioksidase membentuk suatu sistem antibakterial alami yang potensial yang disebut sistem laktoperioksidase. Hidrogen perioksida dan thiosianat secara alami terdistribusi dalam jaringan dan manusia, walaupun konsentrasinya sangat rendah.

Pengaruh antibakterial dari sistem laktoperioksidase diperantai oleh reaksi hidrogen perioksida dan thiosianat di bawah katalisis laktoperoksidase dan menghasilkan hipothiosianat yang berumur pendek yang merupakan substansi antibakterial utama. Sifat antibakterial dari sistem laktoperoksidase berdasarkan hambatan enzim metabolik bakterial yang vital oleh hipothiosianat.

Lisosim

Lisosim adalah enzim yang berada dalam susu dari beberapa spesies terutama ASI. Ada dua tipe lisosim. Satu tipe yang ditemukan dalam putih telur ayam dan dikenal sebagai chicken type lisosim-c. Tipe yang lain yang ditemukan pada putih telur angsa dan dikenal dengan goose type atau lisosim-g. Lisosim manusia dan kuda merupakan lisosim tipe c.

Sedangkan susu sapi mengandung kedua lisosim-c dan -g karena kedua tipe ditemukan pada berbagai cairan tubuh sapi dan pada jaringan lambung sapi. Lisosim membunuh bakteri dengan disrupsi pembentukan ikatan glikosidik di antara dua komponen peptidoglikan yang terdapat pada dinding sel bakteri.

Aktivitas lisosim hampir tidak bisa terdeteksi dalam susu sapi, tetapi sangat tinggi pada ASI (0,12 gram/liter). Konsentrasi lisosim paling tinggi pada kolostrum dan susu prekolostral manusia. Pemanasan susu sapi pada 75 derajat celcius selama 15 menit merusak 25 persen aktivitas lisosim. Namun, lisosim ASI lebih stabil terhadap panas daripada lisosim susu sapi. Lisosim memiliki aktivitas antibakterial terhadap sejumlah bakteri. Enzim ini biasanya berfungsi dalam kaitannya dengan laktoferin dan imunoglobulin A (IgA). Lisosim efektif terhadap Escherichia coli bila bekerja sama dengan IgA. Lisosim menyebabkan lisis beberapa spesies salmonellae bekerja sama dengan askorbat dan peroksida. Kedua zat tersebut ada dalam konsentrasi yang rendah dalam susu. Iradiasi microwave dapat menurunkan aktivitas lisosim terhadap E coli. Lisosim dapat membatasi migrasi neutrafil ke dalam jaringan yang rusak dan mungkin berfungsi sebagai agen antiinflamatori.

NAGase

NAGase merupakan enzim yang memiliki aktivitas yang berimplikasi sebagai suatu indikator dari kerusakan jaringan selama mastitis. Ia merupakan enzim lisosomal yang disekresikan dalam jumlah besar pada kelenjar susu selama involusi dan inflamasi Enzim NAGase juga telah ditentukan pada sekresi sapi yang lain seperti cairan uterus. Fungsi spesifik NAGase pada kelenjar susu belum diketahui dengan baik, namun riset telah mengindikasikan bahwa NAGase mungkin memperlihatkan aktivitas antimikroba. Peneliti telah mempelajari efek bakterisidal dari NAGase pada beberapa bakteri patogen yang umum ditemukan pada uterus sapi, seperti Actinomyces pyogenes, Stapphycoccus aureus, Streptococcus agalactiae, dan Pseudomonas aeruginosa. NAGase telah menghambat bakteri tersebut, tetapi E.coli dan Enterobacter aerogenes tidak dihambat.

Aplikasi penting

Substansi antimikroba yang telah diuraikan di atas memiliki aplikasi penting dalam industri susu, hewan/ternak produksi, dan kesehatan manusia. Berbasis pada sifat fisiologik dan fu ngsional yang dimiliki laktoferin, sejumlah kemungkinan inovatif untuk aplikasi protein protektif alami ini dapat dipertimbangkan.

Makanan kesehatan dan fugsional, kapsul nutrisi, dan minuman yang mengandung laktoferin dapat dikembangkan. Laktoferin telah digunakan sebagai salah satu kandungan pada makanan formula bayi.

Sifat antibakterial sistem laktoperoksidase juga telah diaplikasi untuk hewan produksi. Sebagai contoh, karena kurangnya peralatan pendingin, banyak peternak di Cina menghadapi problem pembusukan susu selama penyimpanan dan transportasi.

Untuk mempertahankan kualitas susu, peneliti Cina telah mengajarkan peternak bagaimana mengaktivasi sistem laktoperoksidase dalam susu segar. Penambahan sejumlah kecil sodium thiosianat dan sodium perkarbonat pada susu segar efektif untuk mengurangi pembusukan susu.

Kemampuan lisosim untuk membatasi migrasi neutrofil ke jaringan yang rusak memberikan kemungkinan untuk menggunakan lisosim sebagai agen antiinflamatori. Lisosim dapat juga digunakan sebagai aditif pada formula makanan rumah sakit, formula bayi, dan produk pakan hewan sebagai suatu cara untuk mengurangi pembengkakan akibat pembedahan atau penyakit.

Hasil riset telah menunjukkan bahwa pemberian kolostrum manusia dan sapi yang mengandung lisosim kepada bayi manusia dan anak sapi yang baru lahir dapat mengurangi insidensi infeksi gastrointestinal.

LAKTOPEROKSIDASE PADA BERBAGAI SPESIES SUSU

LAKTOPEROKSIDASE DALAM LUDAH

Sistem laktoperoksidase merupakan suatu sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme yang secara alamiah ada di dalam air ludah (saliva). "Sayangnya, karena konsumsi makanan modern--yang banyak mengandung bahan-bahan kimia, seperti bahan perasa, pewarna, dan pengawet--pertahanan alami ini menjadi rusak," papar Rahmi.

Selain pengaruh makanan, sistem laktoperoksidase bisa rusak karena penggunaan detergen (sodium lauril sulfat) yang berlebihan dalam pasta gigi. Batas toleransi kandungan detergen dalam pasta gigi adalah 0,0001 persen. Bila lebih dari itu, zat pembentuk busa ini dapat merusak ludah. Untuk mengetahui apakah pasta gigi Anda terlalu banyak mengandung detergen, makanlah buah jeruk sesudah menggosok gigi. Bila rasa buah jeruk menjadi tidak enak (berubah rasa menjadi sedikit pahit), artinya telah terjadi perubahan pada ludah dan gangguan pada sensor rasa karena detergen.

Selain itu, detergen yang berlebihan dalam pasta gigi bisa membuat gigi dan mukosa mulut terasa kasar karena teriritasi. Kalau sudah begini, mulut gampang terserang sariawan. "Selama ini orang mengira sariawan muncul akibat kekurangan vitamin C. Padahal justru kualitas dan kuantitas air ludahlah yang sangat berperan," ujar Rahmi. Stres, perubahan hormonal, gangguan pencernaan, dan konsumsi terlalu banyak obat antihistamin juga bisa mengganggu produksi air ludah yang mengakibatkan munculnya sariawan.

Pemakaian antiseptik secara berlebihan bisa merusak pertahanan alamiah air ludah. Antiseptik bersifat bakteriosid sehingga mampu membunuh semua bakteri di dalam rongga mulut. Jika pertahanan alami ludah sudah rusak, bakteri akan berkembang biak tanpa terkontrol dan membuat mulut menjadi asam. Keasaman mulut ini dapat melarutkan email sehingga gigi menjadi rapuh dan mudah terkikis. Bakteri yang berkembang biak juga bisa memproduksi racun yang, bila merembes ke gusi, menyebabkan radang gusi. Selain itu, halitosis atau bau mulut tak bisa dihindarkan.

Tapi perlu diingat, bau mulut juga bisa timbul secara normal. Misalnya saat berpuasa dan bangun tidur seperti yang dialami Ananda. "Saat berpuasa dan tidur, mulut tidak beraktivitas sehingga pengeluaran air ludah juga berkurang. Mulut pun menjadi kering dan mengeluarkan bau," katanya. NUNUY NURHAYATI, KORAN TEMPO.

PENGENDALIAN MIKROORGANISME DALAM BAHAN PANGAN

PENGENDALIAN MIKROORGANISME DALAM BAHAN
MAKANAN ASAL HEWAN


OLEH :
Doddi Yudhabuntara


Pengendalian mikroorganisme dalam bahan makanan asal hewan perlu dilakukan apabila kita menginginkan bahan makanan tersebut tidak cepat rusak atau cepat menjadi busuk, melainkan menjadi tahan lama. Kerusakan bahan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme terjadi karena mikroorganisme tersebut berkembangbiak dan bermetabolisme sedemikian rupa sehingga bahan makanan mengalami perubahan yang menyebabkan kegunaannya sebagai bahan pangan menjadi terganggu. Proses kerusakan ini dimungkinkan karena bahan makanan memiliki persyaratan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dengan demikian, kerusakan bahan makanan dapat terjadi apabila tersedia substrat (yaitu bahan makanan tsb.) yang cocok, kemudian bahan makanan itu telah tercemar oleh mikroorganisme dan ada kesempatan bagi mikroroganisme untuk berkembangbiak. Usaha pengendalian mikroorganisme dapat dilaksanakan apabila faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan atau perkembangbiakan mikroorganisme telah diketahui sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut umumnya dibagi ke dalam lima bahasan yaitu a) waktu generasi; b) faktor intrinsik; c) faktor ekstrinsik; d) faktor proses dan e) faktor implisit.


Waktu generasi

Waktu generasi adalah waktu yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk meningkatkan jumlah sel menjadi dua kali lipat jumlah semula. Kurva pertumbuhan mikroorganisme terdiri atas empat fase yaitu fase penyesuaian (lag phase), fase eksponensial atau fase logaritmik, fase stasioner dan fase kematian. Pada fase eksponensial terjadi peningkatan jumlah sel dan digunakan untuk untuk menentukan waktu generasi. Beberapa contoh waktu generasi pada suhu pertumbuhan yang optimal antara lain 30 menit untuk Bacillus cereus, 20 menit untuk Escherichia coli dan Salmonella, dan 10 menit untuk Clostridium perfringens.

Faktor intrinsik

Faktor intrinsik meliputi pH, aktivitas air (activity of water, aw), kemampuan mengoksidasi-reduksi (redoxpotential, Eh), kandungan nutrien, bahan antimikroba dan struktur bahan makanan.

Ukuran keasaman atau pH adalah log10 konsentrasi ion hidrogen. Lazimnya bakteri tumbuh pada pH sekitar netral (6,5 – 7,5) sedangkan kapang dan ragi pada pH 4,0-6,5.

Aktivitas air (aw) adalah perbandingan antara tekanan uap larutan dengan tekanan uap air solven murni pada temperatur yang sama ( aw = p/po ). Ini merupakan jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikrobia dalam pangan dan bukan berarti jumlah total air yang terkandung dalam bahan makanan sebab adanya adsorpsi pada konstituen tak larut dan absorpsi oleh konstituen larut (mis. gula, garam). Air murni mempunyai aw 1,0 dan bahan makanan yang sepenuhnya terdehidrasi memiliki aw = 0. Bakteri Gram negatif lebih sensitif terhadap penurunan aw dibandingkan bakteri lain. Batas aw minimum untuk multiplikasi sebagian besar bakteri adalah 0,90. Escherichia coli membutuhkan aw minimum sebesar 0,96, sedangkan Penicillium 0,81. Meskipun demikian aw minimum untuk Staphylococcus aureus adalah 0,85.

Beberapa unsur dalam bahan makanan mempunyai sifat antimikroba. Susu sapi mengandung laktoferin, konglutinin, lisozim, laktenin dan sistem laktoperoksidase. Bahan antimikroba dalam telur adalah lisozim, konalbumin, ovomukoid, avidin. Sistem laktoperoksidase terdiri dari laktoperoksidase, tiosianat dan peroksidase. Ketiga komponen ini diperlukan untuk efek antimikroba. Susu kambing mengandung lebih banyak lisozim dibandingkan susu sapi. Meskipun demikian kandungan lisozim susu lebih rendah bila dibandingkan dengan putih telur. Laktoferin adalah protein penangkap Fe dalam susu dan dapat disamakan dengan konalbumin putih telur. Lisozim yang terdapat dalam telur menyebabkan lisis lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri. Kandung lisozim dalam telur adalah 3,5 %.

Struktur bahan makanan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme misalnya lemak karkas dan kulit pada karkas unggas dan karkas babi dapat melindungi daging dari kontaminasi mikroorganisme. Kerabang telur yang mempunyai pori-pori sebesar 25-40 µm dapat mempersulit masuknya mikroorganisne ke dalam telur walau tidak dapat mencegah tetap masuknya mikroorganisme. Mikroorganisme akan ditahan oleh lapisan membran dalam yang mencegah masuknya mikroorganisme ke albumen. Daging giling atau daging yang sudah dipotong menjadi bagian lebih kecil akan lebih memberi kemudahan bagi mikroorganisme untuk berkembang biak dibandingkan dengan pada daging karkas.


Faktor ekstrinsik

Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah suhu penyimpanan dan faktor luar lainnya yang pada prinsipnya berhubungan dengan pengaruh atmosferik seperti kelembaban, tekanan gas/keberadaan gas, juga cahaya dan pengaruh sinar ultraviolet.

Berdasarkan suhu optimumnya, mikroorganisme dibagi menjadi psikrofil dengan suhu optimum kurang dari + 20 °C, mesofil (+20° s/d + 40 °C) dan termofil (lebih dari +40 °C). Pada suhu minimum terjadi perubahan membran sel sehingga tidak terjadi transpor zat hara. Sebaliknya pada suhu maksimum terjadi denaturasi enzim, kerusakan protein dan lipida pada membran sel yang menyebabkan lisisnya mikroorganisme. Mikroorganisme patogen biasanya termasuk ke dalam kelompok mesofil. Pengaruh suhu rendah pada mesofil adalah inaktivasi dan perubahan struktur protein permease. Kapang mempunyai kisaran pertumbuhan yang lebih luas dibandingkan bakteri, sedangkan ragi mampu tubuh pada kisaran psikrofil dan mesofil. Mikroorganisme juga dapat diklasifikasikan menurut resistensinya terhadap temperatur yang tidak menguntungkan yaitu psikrotrof (tumbuh pada suhu kurang dari + 7 °C) dan termotrof (tumbuh pada suhu lebih dari + 55 °C).

Kelembaban lingkungan (relative humidity, RH) penting bagi aw bahan makanan dan pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan bahan makanan. Ruang penyimpanan yang memiliki RH rendah akan menyebabkan bahan makanan yang tidak dikemas mengalami kekeringan pada permukaannya dan dengan demikian mengubah nilai aktivitas airnya.Produk bahan makanan yang kering ini bila dibawa ke lingkungan yang lembab (RH tinggi) akan menyerap kelembaban sehingga permukaannya dapat ditumbuhi jamur. Hal yang sama akan terjadi bila bahan makanan yang telah didinginkan dibawa ke lingkungan yang lebih hangat. Hal ini akan menyebabkan kondensasi air di bagian permukaannya. Proses ini penting untuk diperhatikan pada pengepakan produk yang dapat membusuk, karena biasanya ruang pengepakan lebih hangat dibandingkan dengan ruang pendingin, sehingga akan terbentuk lapisan tipis air kondensasi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan aktivitas air yang pada gilirannya dapat mempermudah pertumbuhan mikroorganisme.

Penyimpanan bahan makanan di ruang terbuka meningkatkan kadar CO2 sampai 10 % yang dapat dicapai dengan menambahkan es kering (CO2) padat. Penghambatan oleh CO2 meningkat sejalan dengan menurunnya suhu karena solubilitas CO2 meningkat pada suhu rendah. Bakteri Gram negatif lebih rentan terhadap CO2 dibandingkan bakteri Gram positif. Pseudomonas paling rentan sedangkan bakteri asam laktat serta bakteri anaerob paling tahan.

Adanya cahaya dan sinar ultra violet dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan kerusakan toxin yang dihasilkannya, misalnya pada Aspergillus ochraceus.


Faktor proses

Semua proses teknologi pengolahan bahan makanan mengubah lingkungan mikro bahan makanan tersebut. Proses tersebut dapat berupa pemanasan, pengeringan, modifikasi pH, penggaraman, curing, pengasapan, iradiasi, tekanan tinggi, pemakaian medan listrik dan pemberian bahan imbuhan pangan.


Faktor implisit

Faktor lain yang berperan adalah faktor implisit yaitu adanya sinergisme atau antagonisme di antara mikroorganisme yang ada dalam “lingkungan” bahan makanan. Ketika mikroorganisme tumbuh pada bahan makanan dia akan bersaing untuk memperoleh ruang dan nutrien. Dengan demikian akan terjadi interaksi di antara mikroorganisme yang berbeda. Interaksi ini dapat saling mendukung maupun saling menghambat (terjadi sinergisme atau antagonisme).


Pengendalian mikroorganisme dalam bahan makanan

Pengendalian mikroorganisme dalam bahan makanan pada prinsipnya bertujuan untuk membuat bahan makanan menjadi tahan lama, atau dengan perkataan lain bertujuan untuk pengawetan bahan makanan. Pengendalian mikroorganisme berarti mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang dapat berarti membunuh atau menghambat pertumbuhan itu sendiri. Biasanya tindakan ini dilakukan dengan perlakuan fisik atau perlakuan kimia. Perlakuan fisik dapat dilakukan dengan cara perlakuan termal, perlakuan pengeringan dan perlakuan penyinaran (iradiasi). Perlakuan termal terdiri dari suhu rendah, yaitu pendinginan dan pembekuan, dan suhu tinggi/pemanasan yang dapat berupa pasteurisasi atau sterilisasi. Perlakuan pengeringan dapat dilakukan dengan cara pengeringan atau cara pengeringan beku. Perlakuan penyinaran dapat dilakukan dengan sinar ultraviolet dan ionisasi (sinar röntgen, sinar gamma, sinar elektron). Perlakuan kimia dapat dilakukan dengan cara penggaraman, curing, pengasaman, pengasapan dan pemberian bahan pengawet.


Perlakuan termal

Suhu merupakan faktor ekstrinsik yang penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Dibandingkan dengan mahluk tingkat tinggi, mikroorganisme memiliki rentang pertumbuhan yang sangat lebar (kira-kira – 15 s/d 90 °C). Pada suhu rendah, pertumbuhannya akan berhenti, sedangkan pada suhu tinggi organisme ini akan mati. Pada kedua situasi di atas, terkait proses terjadinya metabolisme yang menyebabkan terjadinya kerusakan bahan makanan. Karena proses enzimatik juga bergantung pada suhu, maka perlakuan dengan suhu ekstrim akan menyebabkan pengawetan hampir seluruh bahan makanan.

Suhu rendah

Suhu rendah tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat perkembangbiakannya. Dengan demikian pertumbuhan mikroorganisme semakin berkurang seiring dengan semakin rendahnya suhu, dan akhirnya di bawah “suhu pertumbuhan minimum” perkembangbiakannya akan berhenti.

Suhu pertumbuhan minimum yang tertera dalam Tabel 1 hanyalah angka perkiraan dan secara eksperimental hanya berlaku untuk beberapa strain dari spesies tertentu dan tidak dapat berlaku umum. Pada penyimpanan bahan makanan dalam suhu beku, proses pembusukan oleh mikroorganisme masih dapat terjadi walau sangat diperlambat. Proses kerusakan baru dapat dihentikan pada suhu di bawah -18°C.

Suhu minimal hanya berlaku bila dalam keadaan lingkungan yang optimal. Adanya perubahan sedikit saja pada nilai aw atau pH telah dapat menyebabkan peningkatan suhu pertumbuhan secara drastis. Contohnya adalah Enterobacter aerogenes yang memiliki suhu pertumbuhan minimal sebesar 5 °C apabila angka aktivitas airnya optimal yaitu di atas 0,97. Pada nilai aw sebesar 0,955 pertumbuhannya berhenti pada suhu sekitar 20 °C , dan pada aw 0,950 pertumbuhan berhenti pada suhu 30 . Pada uji mikroorganisme yang sama, terjadi peningkatan suhu pertumbuhan minimal menjadi 15 °C ketika terjadi penurunan pH dari pH optimal 7 menjadi 3,9. Pada beberapa mikroorganisme, suhu rendah dapat pula menyebabkan aktivitas enzimatik menjadi intensif. Pseudomonas lebih banyak menghasilkan lipase dan proteinase pada suhu di bawah suhu optimum pertumbuhannya. Hal ini dapat menjelaskan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa perubahan akibat kerja mikroorganisme dalam bahan makanan sering terjadi walau jumlah mikroorganisme tidak melebihi jumlah yang diperbolehkan. Pada fase eksponensial, mikroorganisme sangat peka terhadap suhu rendah, khususnya Enterobacter dan Pseudomonas, sedangkan bakteri Gram positif nampaknya lebih tahan. Pembekuan sedikit banyak membuat kerusakan mikroorganisme. Kerusakan ini dapat bersifat reversibel maupun menyebabkan kematian sel bakteri. Kerusakan ini bergantung pada jenis dan kecepatan proses pembekuan. Pembekuan cepat dengan suhu sangat rendah tidak atau hanya sedikit membuat kerusakan sel bakteri, sedangkan pembekuan lambat dengan suhu pembekuan relatif tinggi (s/d –10 °C) dapat membuat kerusakan hebat pada sel bakteri. Hal ini didukung pada kenyataan bahwa laju kematian bakteri meningkat dengan semakin meningkatnya suhu mendekati titik nol. Dalam suatu uji kultur diperoleh hasil bahwa setelah disimpan selama 220 hari dalam suhu –10 °C hanya tinggal 2,5 % sel bakteri yang masih hidup, sedangkan yang disimpan pada suhu –20 °C masih ada 50 % sel bakteri yang hidup. Pada suhu –4 s/d – 10 °C angka kematian sangat tinggi. Meskipun demikian hal ini dalam prakteknya tidak dapat digunakan untuk menghilangkan mikroorganisme pada bahan makanan yang dibekukan karena pada suhu ini mikroorganisme psikrofil tertentu masih dapat berkembangbiak dan juga perombakan kimiawi masih berjalan sehingga mempengaruhi kualitas bahan makanan. Pengetahuan mengenai proses ini penting karena alasan berikut: Mikroorganisme yang subletal rusak sulit ditemukan pada pemeriksaan kultur bakteriologik. Setelah bahan makanan beku ini dihangatkan dan pada kondisi yang menguntungkan, bakteri ini dapat kembali beraktivitas sehingga seperti halnya pada kasus Salmonella, dapat menjadi ancaman kesehatan konsumen. Oleh karena itu, pada pemeriksaan mikrobiologik bahan makanan yang dibekukan (demikian pula pada produk yang dikeringkan atau dipanaskan), hendaknya memakai metode dan media yang cocok untuk dapat menghidupkan kembali mikroorganisme yang rusak tersebut.

Suhu tinggi

Pengendalian mikroorganisme melalui perlakuan suhu tinggi pada umumnya dilakukan dengan pasteurisasi atau sterilisasi. Pasteurisasi adalah pemanasan dengan suhu di bawah 100 °C dan tidak akan menyebabkan inaktivasi mikroba dan enzim secara sempurna. Dengan demikian produk yang dipasteurisasi tidak akan bertahan lama bila tidak disertai perlakuan pendinginan atau faktor proses lainnya seperti perubahan aw dan pH. Sterilisasi adalah pemanasan yang dapat menyebabkan inaktivasi mikroba dan enzim sehingga produk dapat tahan lama.
Perlakuan pengeringan

Pengeringan adalah identik dengan pengurangan aktivitas air. Pada aw kurang dari 0,70 pertumbuhan agen penyebab infeksi dan intoksikasi tidak perlu dikuatirkan lagi. Pada produk yang dikeringkan, mikroorganisme berada dalam keadaan “tidur” atau dengan perkataan lain berada dalam fase lag yang diperpanjang. Bila terjadi rekonstruksi (penyerapan air kembali) maka flora yang ada dalam bahan makanan dapat kembali beraktivitas. Secara umum pengeringan dibedakan menjadi pengeringan di bawah tekanan udara dan pengeringan vakum. Proses yang khusus adalah kombinasi antara pembekuan dan penghilangan air dengan atau tanpa vakum. Pengeringan dengan udara dilakukan dalam udara yang bergerak, dalam ruang pengeringan yang dipanaskan, dll.


Perlakuan penyinaran

Dosis penyinaran diukur dengan satuan Gray (Gy). Penyinaran rendah bila dosisnya adalah kurang dari 1 kGy, medium bila < 1-10 kGy, dan tinggi bila lebih dari 10 kGy. Lingkup proses penyinaran (iradiasi) adalah untuk desinfeksi, pemanjangan shelf-life, dekontaminasi dan perbaikan kualitas produk. Keuntungan yang diperoleh adalah pengurangan seminimal mungkin bahan makanan yang hilang akibat proses pengawetan, dan penghematan energi serta keuntungan lainnya. Daging sapi yang mendapat perlakuan iradiasi akan menyebabkan pertumbuhan Psedomonas dan Enterobacteriaceae sangat terhambat tanpa menyebabkan perubahan organoleptik. Shelf life daging mentah yang dikemas vakum dapat diperpanjang. Pada daging babi, iradiasi dengan dosis antara 0,3 – 1,0 kGy dapat membuat inaktivasi Trichinella spiralis.


Perlakuan kimia

Perlakuan yang biasa dilakukan antara lain dengan pemberian garam. Penggaraman ini bertujuan untuk menurunkan aktivitas air dan garam sendiri tidak memiliki pengaruh antimikroba secara langsung. Perlakuan yang lain adalah dengan curing, yaitu perlakuan dengan menggunakan garam dapur dan garam nitrit (natrium nitrit atau kalium nitrit). Perlakuan ini dapat menghambat pertumbuhan dan produksi toxin oleh Clostridium botulinum. Efek utamanya adalah menentukan panjangnya fase lag. Faktor yang mempengaruhi efektivitas nitrit antara lain pH, oksigen, komponen pangan lainnya (konsentrasi garam), pemanasan dan iradiasi. Pengasapan juga merupakan salah satu cara pengendalian mikroorganisme dalam bahan makanan dengan menggunakan metode pengasapan dingin, pengasapan hangat dan pengasapan panas. Pengasaman dan penggunaan bahan pengawet juga lazim dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan yang tidak merugikan kesehatan selama diberikan dengan dosis yang tepat untuk tujuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

Saturday, April 26, 2008

Lactoperoxidase

By Ahmad Ni'matullah Al-Baarri

Recently, bio-preservative is being developed rapidly as a food preservative method due to meet food safety and consumer demand. Natural compound such as lysozyme, lactoferrin, nisin, glucose oxidase, and lactoperoxidase, is now highlighted because of its antimicrobial function. Among those milk-purified compound, lactoperoxidase seem highest potential and wide ranged scope in application on food industry.

Lactoperoxidase (LPO) is a naturally existing enzyme in raw milk, catalyses the chemical reaction of thiocyanate, resulting intermediary product OSCN- which has function as a bacteriostatic and bactericidal agent. Growth of single strains of the pathogens such as Staphylococcus sp., Listeria sp., E, coli, Salmonella sp., Yersinia enterocolitica, Pseudomonas, and other possible microorganism naturally occur in vegetable, meat, and other animal products can be killed or inhibited by this system products. The anti-bacterial properties of the LPOs are generally recognized as safe (GRAS) status has resulted in numerous publications suggesting its use as a natural food preservative.

LPO consists of a single polypeptide chain containing 612 amino acid residues and its molecular weight is about 85 kDa. It contains 15 half-cystine residues and carbohydrate moieties that comprise about 10% of the weight of the molecule. LPO enzyme can be purified and characterized from different sources, such as bovine, llama, buffalo, camel, cows, mice milk.

Tuesday, April 22, 2008

penelitian susu merambah ke enzim

salah satu enzim di susu, sangat kecil jumlahnya, laktoperoksidase, kini sedang saya tekuni.
tunggu publikasi lebih lanjut ya
semoga lancar.
amin.