Saturday, April 28, 2007

INTENSITAS AROMA “PRENGUS” DAN DETEKSI ASAM LEMAK PADA SUSU KAMBING

INTENSITAS AROMA “PRENGUS” DAN DETEKSI ASAM LEMAK PADA SUSU KAMBING

(The intesity of “goaty” aroma and detection of fatty acids in goat’s milk)


Anang M. Legowo1, A. N. Al-Baarri1, M. Adnan2 dan U. Santosa2

1Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
2Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta



ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi asam-asam lemak dan intensitas aroma dan rasa “prengus” dari susu kambing. Penelitian ini menggunakan susu sapi sebagai pembanding. Susu kambing dan susu sapi dianalisis intensitas aroma dan flavor “prengus” dengan uji organoleptik berdasarkan skoring (1 s/d 5), yaitu 1 = tidak “prengus” dan 5 = sangat “prengus”. Kandungan asam-asam lemaknya diuji dengan instrumen gas chromatography (GC) dan GC-MS (gas chromatography-mass spectrophotometry), yang selanjutnya diuji taraf perbedaannya dengan uji t-test dengan taraf signifikansi 5%. Uji organoleptik dilakukan dengan melibatkan 25 panelis agak terlatih. Skor uji organoleptik untuk aroma “prengus” susu kambing yaitu 3,96 (cukup “prengus” – “prengus”). Skor tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan skor aroma susu sapi (yaitu 1,12, tidak “prengus” – sedikit “prengus”). Skor rasa “prengus” pada susu kambing juga mendekati skor maksimal (4,36 yaitu cukup “prengus” – sangat “prengus”). Skor ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan skor rasa “prengus” susu sapi (yaitu 1,12, tidak “prengus” – sedikit “prengus”). Asam lemak kaprilat, laurat, kaproat dan kaprat di dalam susu kambing lebih tinggi kandungannya dibandingkan dalam susu sapi, yaitu masing-masing mencapai 50, 10, 2 dan 1,5 kali lipatnya. Kesimpulan penelitian ini yaitu aroma dan flavor “prengus” sangat melekat pada susu kambing. Asam lemak jenis kaprilat dan laurat merupakan asam lemak yang paling tinggi kandungannya di dalam susu kambing dan diduga mempunyai kontribusi bermakna terhadap aroma dan rasa “prengus” susu kambing.

Kata kunci: susu kambing, aroma dan rasa “prengus”, asam lemak








ABSTRACT

This research was conducted to identify the fatty acids and the intensity of goaty aroma from goat’s milk. Cow’s milk was used as a control. Goat’s milk and cow’s milk were analyzed the content of fatty acids and were measured by GC (gas chromatography) and GC-MS (gas chromatography-mass spectrophotometry). The intensity of goaty aroma was determined by sensory analysis using scores from 1 to 5, whereas 1 = none goaty aroma, and 5 = very goaty aroma. Sensory’s test score for goaty aroma of goat’s milk and cow’s milk, i.e. 3.96 and 1,12, respectivelly. The score of goaty’s milk was higher than score of cow’s milk (P<0.05). The taste of goaty’s milk compared with cow’s milk were significantly different i.e. 4.36 and 1.12, respectivelly. The fatty acids of caprilic, lauric, caproic and capric in goat’s milk were higher than that of in the cow’s milk, which was more than 50, 10, 2 and 1.5 times, respectively. Conclusion of this study was goaty aroma and goaty taste was very related to goats’s milk and it was suggested that the fatty acids of caprilic and lauric contributed to the goaty aroma and taste of goat’s milk.

Key words: goat’s milk, goaty aroma and taste, fatty acids



PENDAHULUAN

Susu kambing dikenal bergizi tinggi dan mempunyai nilai ekonomi baik. Salah satu masalah pemanfaatan susu kambing adalah adanya aroma “prengus” ( “goaty flavor”) pada susu tersebut yang tidak disukai konsumen. Aroma ataupun rasa merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas dan penerimaan bahan pangan (Arn dan Acree, 1998; Apriyantono dan Kumara, 2004; Drake, 2004; Potieni dan Peterson, 2005). Pada umumnya aroma dan rasa bahan pangan ditimbulkan oleh kelompok senyawa tertentu atau gabungan dari berbagai senyawa. Aroma dan rasa susu diduga berasal dari komponen lemak dan berbagai senyawa yang lain (Hansen dan Heinis, 1992; Potieni dan Peterson, 2005). Hingga sekarang belum ditemukan laporan penelitian yang mengungkapkan tentang aroma dan rasa “prengus” dari susu kambing.
Susu kambing dilaporkan mengandung asam-asam lemak rantai pendek lebih banyak dibandingkan susu sapi, dan komponen tersebut diduga memberi kontribusi terhadap aroma dan rasa yang spesifik susu kambing (Suparno, 1992; Fontecha et al. 1998; Harding, 1999). Penelitian tentang kandungan asam-asam lemak, khususnya asam lemak rantai pendek (C4-C8) dan sedang (C10-C14), perlu dilakukan untuk mengungkapkan keterkaitannya dengan aroma dan rasa “prengus” susu kambing secara kuantitatif.
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kuantitas senyawa–senyawa yang khas, utamanya asam lemak rantai pendek dan sedang, dalam susu kambing yang bertanggung jawab pada dihasilkannya aroma dan rasa “prengus” dengan diuji dengan uji organoleptik serta dengan menggunakan alat kromatografi gas (GC), dan kromatografi gas-mass spectrophotometry (GC-MS). Hasil analisis kromatografi dibandingkan (antara susu sapi dan susu kambing) dan dikonfirmasikan dengan pengujian oleh panelis agak terlatih.


MATERI DAN METODE

Materi Penelitian
Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah susu kambing yang diperoleh dari sentra kambing peranakan etawa di desa Kemirikebo Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Materi uji organoleptik berupa kuisioner dan wadah sampel susu untuk melakukan tes. Bahan untuk uji kromatografi yaitu, NH4OH, BF3, ethanol, etil ether, indikator PP, heksana, standar beberapa asam lemak. Alat yang digunakan untuk analisis asam lemak yaitu 1 unit perangkat kromatografi gas dan 1 unit perangkat kromatografi gas yang dilengkapi dengan mass spectrophotometry.

Metode Penelitian
Metode Uji Organoleptik untuk Aroma dan Flavor “Prengus”
Uji organoleptik pada susu kambing segar dimaksudkan untuk mengetahui intensitas aroma dan rasa “prengus” pada susu. Uji Organoleptik aroma dan rasa “prengus” susu kambing segar dilakukan oleh 25 orang panelis agak terlatih dengan metoda skoring (Kartika et al., 1988). Pengujian intensitas “prengus” ini dilakukan dengan terlebih dahulu dilakukan pasteurisasi pada 730C selama 1 menit. Skor untuk aroma “prengus” dan rasa “prengus” meliputi: 1 = tidak “prengus”, 2 = sedikit “prengus”, 3 = cukup “prengus”, 4 = “prengus”, dan 5 = sangat “prengus”.

Metode Analisis Asam Lemak Susu

Metode preparasi untuk identifikasi asam lemak menurut AOAC (1990). Asam lemak yang digunakan sebagai referensi adalah asam-asam lemak yang utama / dominan di dalam susu (Campbell dan Marsahll yang dikutip Harding, 1999). Asam lemak tersebut terdiri: Kaproat (C4:0), Kaprat (C10:0), Laurat (C12:0), Kaprilat (C14:0).



HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji Organoleptik terhadap Aroma dan Rasa “Prengus”

Uji organoleptik terhadap aroma dan rasa “prengus” susu kambing dan susu sapi segar dilakukan oleh 25 orang panelis agak terlatih. Skor hasil uji aroma dan rasa “prengus” dan kriterianya disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Pengujian organoleptik flavor “prengus” dilakukan setelah susu dipasteurisasi pada suhu 730C selama 1 menit. Tujuan pengujian ini adalah untuk menilai kesan aroma dan rasa “prengus” susu pada saat dikonsumsi, karena flavor menggambarkan kesan gabungan rasa dan aroma.
Pada Tabel 1 tampak bahwa susu kambing penuh menunjukkan skor intesitas aroma “prengus” yang cukup besar, yaitu 3,96 (cukup “prengus” – “prengus”). Skor aroma “prengus” pada susu sapi dinilai sangat rendah, yaitu 1,16 (tidak “prengus” – sedikit “prengus”). Hasil perhitungan uji organoleptik ini menunjukkan bahwa aroma “prengus” pada kenyataannya melekat pada susu kambing.
Skor uji flavor “prengus” susu kambing dan susu sapi mempunyai pola yang mirip dengan skor uji aroma “prengus” (Tabel 2). Pada susu kambing terdeteksi flavor yang mencapai titik tertinggi intensitas “prengus”nya, yaitu mencapai skor 4,36 (“prengus” – sangat “prengus”). Skor flavor “prengus” pada susu kambing ini, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan flavor yang ada pada susu sapi yaitu 1,12 (tidak “prengus” – sedikit “prengus”).
Tabel 1. Skor Uji Organoleptik Aroma “Prengus” Susu Kambing dan Susu Sapi
Jenis Susu Rerata
Skor Aroma Kriteria Skor
Susu Kambing

Susu Sapi 3,96a

1,16b
Cukup “prengus” – “Prengus”

Tidak “prengus” – Sedikit “prengus”

abSuperskrip huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).

Untuk mengungkapkan kontribusi jenis lemak terhadap munculnya aroma “prengus”, maka selanjutnya dilakukan penelitian identifikasi asam-asam lemak didalam susu kambing dan susu sapi.
Tabel 2. Skor Uji Organoleptik Flavor “Prengus” Susu Kambing dan Susu Sapi
Jenis Susu Rerata
Skor Flavor Kriteria Skor
Susu Kambing

Susu Sapi 4,36a

1,12b
“Prengus” – Sangat “prengus”

Tidak “prengus” – Sedikit “prengus”

abSuperskrip huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).

Deteksi Asam Lemak
Hasil analisis asam-asam lemak rantai pendek dan rantai sedang pada susu kambing dan susu sapi disajikan pada Tabel 3. Analisis diulang sebanyak 3 kali dan data yang disajikan merupakan hasil rata-rata ketiga ulangan tersebut.
Tabel 3. Kandungan Beberapa Asam Lemak pada Susu Kambing dan Susu Sapi (Whole Milk), n=3.
Macam Asam Lemak Susu Sapi
(mg/100g) Susu Kambing
(mg/100g)
Kaproat (C6) 63,44a 210,18b
Kaprilat (C8) 2,23a 119,90b
Kaprat (C10) 73,40a 102,53b
Laurat (C12) 130,44a 1648,51b
abSuperskrip pada baris yang sama, menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05)
Asam kaproat ditemukan sebesar 63,44 dan 210,18 mg per 100 gram susu, masing-masing untuk susu sapi dan susu kambing (Tabel 3). Hasil ini setara dengan 0,06 % dan 0,21 % dalam susu, jika dihitung dalam persentase total lemak susu, sebanyak 1,89 % dan 3,43 %, masing-masing untuk susu sapi dan susu kambing.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa asam kaproat terdapat di dalam susu sapi, terdeteksi sebesar 1,85 % (Forrs, 1978). Angka ini menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan besarnya kadar asam kaproat pada penelitian. Pada penelitian lain, susu sapi terdeteksi adanya asam kaproat sebesar 2,25 %, dan ketika diolah menjadi keju, asam kaproat terdeteksi sebanyak 2,20 % (Nelson dan Barbano, 2005). Menurut Pierse et al. (1988), hasil deteksi asam lemak didalam susu akan berbeda-beda tergantung pada intake pakan, laju metabolisme trigliserida dalam kelenjar susu serta metode yang dipakai dalam penelitian.
Jumlah asam kaproat pada susu kambing lebih tinggi lebih dari 3 kali lipat dari jumlah yang ada pada susu sapi. Oleh karena itu, walaupun diduga sebagai pembawa aroma “prengus”, namun pengaruhnya tidak banyak. Sedangkan jumlah asam lemak kaprilat dalam susu sapi sebanyak 2,23 mg/100 g susu dan jumlah dalam susu kambing sebanyak 119,90 mg/100 g susu. Angka ini setara dengan 0,07 % dan 1,96 % dari total lemak susu, masing-masing untuk susu sapi dan susu kambing.
Jansen et al. (1967) yang dikutip Suparno (1992) melaporkan bahwa asam kaprilat pada susu sapi sebesar 1,06 % dari total lemak susu. Kadar asam lemak tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kadar asam lemak kaprilat dalam penelitian ini.
Kandungan asam kaprilat dalam susu kambing mencapai lebih dari 50 kali jumlah asam kaprilat pada susu sapi. Belum ada literatur yang membahas secara rinci adanya selisih perbedaan yang besar ini. Oleh karena itu, senyawa inilah yang salah satunya diduga membawa aroma “prengus” pada susu kambing.
Metabolisme spesifik pada biosintesis trigliserida beserta hidrolisisnya dalam kelenjar susu, juga akan berpengaruh pada banyak tidaknya jumlah asam lemak susu. Selain itu, jumlah asam lemak akan dipengaruhi oleh macam pakan. Hijauan merupakan sumber pakan utama untuk pembentukan trigliserida, tetapi pada manusia, jumlah hijauan tidak berpengaruh pada jumlah trigliserida susu (Pierse et al., 1988).
Asam kaprat dalam susu sapi dan susu kambing, masing-masing sebesar 73,40 dan 102,35 mg per 100 gram susu. Jika kemudian angka yang diperoleh ini dikonversi ke dalam persentase total lemak susu, menghasilkan angka 2,19 % dan 1,68 %. Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan beberapa literatur yang ada, hasilnya tidak begitu berbeda. Penelitian produk segar dari susu sapi, ditemukan asam kaprat sebanyak 2,85 % dalam lemak susu (Forrs, 1978). Penelitian Pierse et al. (1988) menghasilkan asam kaprat sebesar 1,08 % dalam susu.. Dari beberapa penelitian tersebut, dapat disimpulkan, bahwa masing-masing peneliti, dapat menghasilkan angka cenderung berbeda. Perbedaan ini timbul sebagai akibat adanya perbedaan pakan, perbedaan metabolisme, perbedaan metode analisis (Pierse et al., 1988).
Perbedaan jumlah asam kaprat antara susu sapi dan susu kambing, dinilai tidak terlalu berbeda dan mempunyai selisih perbedaan yang terkecil dibanding asam lemak lainnya (Grafik 1), sehingga dapat disimpulkan bahwa asam kaprat merupakan asam lemak yang mempunyai pengaruh namun kecil terhadap munculnya aroma “prengus” .
Asam laurat pada susu sapi dan kambing dalam penelitian ini terdeteksi sebesar 130,44 dan 1648,51 mg per 100 gram susu. Angka ini setara dengan 3,89 % dan 26,94 % masing-masing untuk susu sapi dan susu kambing.
Pada produk keju berbahan susu sapi tanpa pengurangan lemak, terdapat kandungan asam laurat sebesar 3,13 % namun akan terdeteksi sebesar 3,02 % jika lemak yang ada dalam susu sapi mengalami proses reduksi (Nelson dan Berbano, 2005). Dalam susu segar, terdapat 4,87 % asam laurat dalam susu (Pierse et al., 1988). Dengan demikian, ada kepastian bahwa dalam susu maupun produk olahan susu, terdapat asam lemak jenis ini walaupun dengan nominal yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat terjadi sebagai akibat perbedaan pakan, metabolisme lemak dalam kelenjar susu, dan metode penelitian (Pierse et al., 1988).
Dalam beberapa literatur lainnya, kadar asam lemak ini mencapai 2,22 % pada susu sapi (Lampert, 1975). Dan pada produk susu sapi (seperti keju) kadar asam laurat mencapai 1,16% - 1,30% (Nelson dan Barbano, 2005). Jumlah asam laurat khususnya pada susu kambing, belum diketahui secara pasti.
Jika dilihat dari jumlah asam lemak, asam lemak laurat merupakan asam lemak dengan jumlah yang paling tinggi, namun jika dilihat dari kelipatannya, asam kaprilatlah yang merupakan asam lemak dengan kelipatan tertinggi antara susu sapi dan susu kambing (Grafik 2). Oleh karena itu, asam kaprilat dan asam laurat merupakan dua komponen utama dalam pengaruhnya terhadap munculnya aroma “prengus”.



Grafik 1. Diagram batang komposisi asam lemak susu kambing dan susu sapi



Grafik 2. Kelipatan beberapa asam lemak pada susu kambing dari susu sapi






KESIMPULAN

Aroma dan rasa “prengus” sangat melekat pada susu kambing dan aroma serta rasa ini tidak ditemukan pada susu sapi. Hal in terbukti dengan skor uji organoleptik pada susu kambing terhadap aroma dan rasa “prengus” merupakan skor yang mendekati skor tertinggi (yaitu sangat “prengus”). Asam lemak kaprilat dan asam lemak laurat merupakan dua asam lemak yang mempunyai tingkat perbedaan yang tertinggi secara berurutan, sehinggi diduga kedua asam lemak inilah yang mempunyai kontribusi bermakna terhadap munculnya aroma dan rasa “prengus” pada susu kambing.


UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, melalui Proyek Hibah Pekerti Tahap III tahun 2005. Untuk itu tim peneliti mengucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC (Association of Official Analytical Chemist). 1990. Official Methods of Analysis. AOAC Arlington.
Apriyantono, A. dan B. Kumara. 2004. Identifikasi character impact odorant s buah kawista (Feronia lemonia). J. Teknologi & Industri Pangan, 15, 1: 35-46.
Arn, H. dan T.E. Acree. 1998. Flavornet: a database of aroma compounds base on odor potency in natural products. Dalam Food Flavors: Formation, Analysis and Packaging Influences, E.T. Contis, C.-T. Ho, C.J. Mussinan, T.H. Parliament, F. Shahidi, dan A.M. Spanier (Eds.). Elseiver, Tokyo.
Drake, MA. 2004. Defining dairy flavors. J. Dairy Sci., 87: 777-784.
Fontecha, J., Diaz, V., Fraga, M.J. 1998. Triglyceride analysis by gas chromatography ini assesment of authenticity of goat milk fat. Journal of the American Oil Chemists’ Society.
Forss. A. D. 1978. Mechanism of Formation of Aroma Compounds in Milk and Milk Products.
Harding, F. 1999. Milk from sheep and goats. Dalam: Milk Quality, F. Harding (Ed.), A Chapman & Hall Food Science Book, Aspen Publishers, Maryland.
Hansen, A. P., dan J. J. Heinis. 1992. Benzaldehyde, Citral, and d-Limonene flavor perception in the presence of casein and whey protein. J. Dairy Sci. 72 : 1211 - 1215
Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1988. Pedoman Pengujian Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lampert, L.M. 1975. Modern Dairy Product, 3rd edition. Chemical Publishing Co. Inc., New York.
Nelson, B. K., dan D. M. Barbano. 2005. Reduced Fat Cheddar Cheese Manufactured Using a Novel Fat Removal Process. J. Dairy Sci. 87:841-853.
Pierse, P., J. Van Aerde, dan M.T. Clandinin. 1988. Nutritional Value of Human Milk. Progress in Food and Nutrition Science Journal Vol. 12:421-447.
Potieni, R. V., dan D. G. Peterson. 2005. Influence of Thermal Processing Conditions on Flavor Stability in Fluid Milk : Benzaldehyde. J. Dairy Sci. 88 : 1- 6.
Rysstad, G dan R. K. Abrahamsen. 1987. Formation of Volatile Aroma Compounds and Carbondioxyde in Yogurt Starter Grown in Cow’s Milk and Goat Milk. J. Dairy Res. 54:257-266.
Soeparno. 1992. Prinsip Kimia dan Teknologi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Spitsberg, V. L. 2005. Invited Review : Bovine Milk Fat Globule Membrane as a Potential Nutraceutical. J. Dairy Sci. 88:2289-2294.
Sudarmadji, S., B. Haryono, Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.

Diambil dari :
J. Tropical Animal Production Vol. 31 No. 4, 2006.

PANDUAN PRAKTIS PENGOLAHAN HASIL TERNAK

PANDUAN PRAKTIS
PENGOLAHAN HASIL TERNAK









disusun oleh

Ahmad N Al-Baarri
Sutaryo





Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro
2004
YAKULT
Susu fermentasi jenis ini berasal dari Jepang dan ditemukan oleh Dr. Shirota sejak tahun 1930. Yakult merupakan produk susu fermentasi dengan menggunakan starter tunggal yaitu Lactobacillus casei. Kecepatan pertumbuhan bakteri ini tergolong cukup lambat dibandingkan dengan bakteri sejenisnya yaitu berkisar 50 Dornic atau 0,5% asam laktat setelah 48 jam. Bakteri Lactobacillus casei berbentuk batang tunggal dan termasuk golongan bakteri heterofermentatif, fakultatif, mesofilik, dan berukuran lebih kecil dari pada Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus acidophillus, dan Lactobacillus helveticus. Bakteri Lactobacillus casei akan merubah ribosa menjadi asam laktat dan asam asetat.
Pembuatan yakult adalah dengan cara disterilisasi terlebih dahulu pada suhu 140C selama 3 sampai 4 detik, kemudian ditanamkan Lactobacillus casei (Strain shirota) diinkubasi pada suhu 37C selama dua hari. Nilai gizi yakult yaitu protein 1,2%, lemak 0,1%, mineral 0,3%, karbohidrat 16,5%, air 81,9%, dan nilai kalori tiap 100 g.
Menurut Margawani (1995), Lactobacilllus casei adalah galur unggul yang mudah dan cocok untuk dikembangbiakkan dalam minuman dasar susu. Selain bakteri ini mampu bertahan dari pengaruh asam lambung, juga mampu bertahan dalam cairan empedu sehingga mampu bertahan hidup hingga usus halus.
Peranan lain terhadap kesehatan manusia adalah
• untuk memperbaiki penyerapan kalsium pada usus,
• melancarkan buang air besar,
• penyerapan bahan karsinogenik,
• membunuh bakteri patogen dan bersifat anti tumor
• memberi efek menguntungkan pada usus halus dengan meningkatkan keseimbangan mikroorganisme dalam saluran pencernaan.

Protein yakult dua kali lebih mudah dicerna daripada protein susu. Untuk mencerna 70% protein yakult, hanya diperlukan waktu tiga jam. Hal ini lebih pendek dari waktu yang dibutuhkan untuk mencerna protein susu segar yaitu enam jam. Kelebihan inilah yang menjadikan yakult sangat berperan dalam pertumbuhan tubuh dan diyakini sangat berperan penting dalam rekondisi pasca sakit.
Yakult cenderung disukai konsumen (karena memiliki citarasa sedikit asam, agak manis, tidak menggumpal, berwarna cerah serta homogen) dibandingkan dengan macam susu fermentasi lainnya seperti yogurt dan kefir. Yogurt dan kefir cenderung tidak disukai konsumen karena mempunyai tekstur yang kental, citarasa terlalu asam dan kurang manis.

Diagram pembuatan Yakult


Susu yang telah dididihkan


didinginkan sampai suhu inkubasi



starter ( dari yakult terdahulu )



inokulasi starter



diinkubasi sampai menggumpal atau
diinkubasi semalam pada temperatur kamar


Didinginkan



Siap dikirim/ dikonsumsi




Bahan






Susu segar (1000 ml) Produk “yakult” (100 ml) Larutan gula pasir 100 ml





Alat
Panci pemanas
Kompor
Termometer
Pengaduk
Botol kaca

Proses Pembuatan
1. Rebus susu segar sebanyak 1 liter sampai mendidih selama 60 detik.
2. Siapkan botol kaca, bersihkan dengan air dingin kemudian tutuplah ujung botol. Agar botol tersebut steril, maka rebuslah botol tersebut dalam air mendidih selama 60 detik.
3. Angkatlah botol tersebut dari air panas, kemudian keringkan tanpa membuka tutup botol.
4. Masukkan susu yang telah direbus, ke dalam botol. Biarkan hingga suhu botol dan susu tersebut kira-kira mencapai 45°C.
5. Masukkan 200 ml yakult ke dalam 1000 ml susu.
6. Tutup kembali botol tersebut, kemudian simpan dalam tempat tertutup dan hindari sinar matahari secara langsung.
7. Setelah 24 jam, susu dalam botol telah berubah menjadi yakult.
8. Tambahkan gula (kira-kira 1 sendok makan per 200 ml yakult). Yakult siap dikonsumsi.
9. Yakult akan lebih nikmat jika dikonsumsi dalam keadaan dingin atau ditambah es batu.







KEJU

Susu dapat diolah menjadi berbagai produk olahan susu antara lain sebagai keju. Produk keju dibuat dengan cara mengkoagulasikan kasein susu dengan menggunakan enzim atau dengan meningkatkan keasaman susu melalui fermentasi asam laktat atau dengan kombinasi kedua teknik tersebut. Salah satu jenis keju yang tergolong sebagai keju bertekstur lunak adalah keju “Cottage”.
Keju “Cottage” pada umumnya dibuat dengan mengasamkan susu, rekonstitusi konsentrat susu skim dengan menggunakan starter atau dengan kombinasi starter dan rennet. Sumber susu yang lazim digunakan sebagai bahan baku pembuatan “Cottage” adalah susu sapi


Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
• susu,
• rennet / papain
• kultur starter Streptococcus lactis,
• garam (NaCl)

Ekstraksi rennet
Rennet di ekstrak dari abomasum anak domba yang berumur 5 bulan. Abomasum dipotong kecil-kecil, kemudian ditambahkan bufer asetat sebanyak kurang lebih 5 kali bobot abomasum. Campuran tersebut diaduk selama 12 jam pada kondisi dingin. Setelah diaduk kemudian dilakukan penyaringan dengan kain kasa steril. Rennet yang dihasilkan kemudian disimpan dalam “freezer”.

Pembuatan Kultur Stok Bakteri Streptococcus lactis
Isolat starter dari ampul ditetesi NaCl fisiologis (0,9%) dan dilakukan homogenisasi. Selanjutnya starter dimasukkan dalam “MRS broth” yang sudah ditambah dengan 15% jus tomat steril, kemudian diinkubasi selama 48 jam dengan suhu 370C. Setelah diinkubasi, starter disentrifus (3500 rpm, 10 menit) untuk selanjutnya, ditambah dengan pepton 0,1% sebanyak 3-5 ml, dan disentrifus lagi untuk memisahkan cairannya. Selanjutnya padatan starter ditambah gliserol 20% dan susu skim 10% (1:1) dan starter yang sudah jadi dimasukkan dalam “eppendorf”.

Pembuatan Keju “Cottage”
Pembuatan keju “Cottage” dengan bahan dasar kombinasi susu sapi dan susu kambing terdiri dari 5 perlakuan, yaitu: T0 (100% skim susu sapi dan 0% susu kambing), T1 (75% skim susu sapi dan 25% susu kambing), T2 (50% skim susu sapi dan 50% susu kambing), T3 (25% skim susu sapi dan 75% susu kambing), dan T4 (100% susu kambing). Prinsip pembuatan keju “Cottage” menggunakan metode modifikasi menurut MUCHTADI dan WARDANI (1996).



















Gambar 2. Cara kerja pembuatan keju “Cottage”

DAFTAR PUSTAKA

Adnan , M. , 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi offset. Yogyakarta.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Prees, Jakarta (Diterjemahkan oleh Hadi Purnomo dan Adiono)

Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil – hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telu. Libertyi, Yogyakarta.

Hadiwiyoto, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan hasil oalahannya. Libertyi, Yogyakarta.

Resang, A.A. dan A.H. Nasution. 1963. Ilmu Kesehatan Susu. Cetakan Pertama. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soeparno. 1992. Primsip Kimia dan Teknologi Susu. Pusat Antar Universitas. Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suyito. 1990. Bahan – bahan Pengemas. Pusat Antar Universitas. Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Williamson,G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Prees, Yogyakarta.

Winarno F. G. , Fardiaz S. dan Fardiaz D. 1982. Pengantar Teknologi Pngan. Penerbit Gramedia, Jakarta.


Diambil dari Modul Pelatihan Peternak di Kabupaten Boyolali, 2004.

Profil Asam-Asam Lemak Yogurt Susu Sapi dan Susu Kambing

Profil Asam-Asam Lemak Yogurt Susu Sapi dan Susu Kambing








Anang M. Legowo, Umar Santoso, Moch. Adnan, Ahmad N. Al-Baarri, Nurwantoro, dan Fendi Sabhara, H Daniyati








Alamat:
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro
Jurusan Produksi Ternak
Program Studi Teknologi Hasil Ternak
Gedung B lantai 3
Kampus Tembalang, Semarang 50275
Tel/fax. (024) 7474750 dan 7478348
HP. 08156503627
Email : anang_ml@yahoo.com cc albari@telkom.net

















Mikrobiologi dan Bioteknologi

ABSTRAK


PROFIL ASAM-ASAM LEMAK YOGURT SUSU SAPI DAN SUSU KAMBING
(PROFILE OF FATTY ACIDS ON YOGHURT BASED ON COW’S MILK AND GOAT’S MILK)

A. M. Legowo1, U. Santoso2, M. Adnan2, A. N. Al-Baarri1, Nurwantoro1, dan F Sabhara1, H. Daniyati1

1)Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro
2)Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan asam lemak (asam kaproat, asam kaprilat, asam kaprat) yogurt yang terbuat dari susu sapi dan susu kambing dengan masa inkubasi selama 5 jam. Materi yang digunakan adalah susu sapi segar, susu kambing, susu sapi skim, Starter Culture (campuran dari bakteri Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus acidophilus dan Streptococcus thermophillus), alkohol 70% dan aquades. Bahan untuk preparasi sampel pengujian asam lemak dengan metode Gas Chromatography (GC) dan Gas Chromatography Mass Spectrophotometry (GC-MS) yaitu metanol, dietil eter, gas nitrogen, BF3 metanol, n-Hexsana. Data asam lemak diambil dari yogurt pada jam inkubasi ke-0, 3, dan 5, masing-masing sebanyak 3 sampel. Data yang didapat selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan perubahan asam lemak selama inkubasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan perubahan jumlah asam lemak yang nyata pada semua jenis asam lemak dari awal penelitian hingga akhir penelitian (jam ke-5 inkubasi). Asam kaproat pada yogurt susu sapi dengan lama inkubasi 0, 3 dan 5 jam berturut-turut (dalam mg/100g) adalah 7,35, 8,02, dan 24,34. Rerata asam kaprilat adalah 21,40, 14,15, dan 23,51. Rerata asam kaprat adalah 11,50, 7,70, dan 22,54. Rerata asam kaproat pada yogurt susu kambing dengan lama inkubasi 0, 3, dan 5 jam berturut-turut adalah 61,20, 39,30, dan 71,53. Rerata asam kaprilat adalah 18,74, 18,45, dan 58,04. Rerata asam kaprat adalah 39,50, 16,67, dan 33,54.

Kata kunci : susu sapi, susu kambing, yogurt, asam lemak

PENDAHULUAN
Lemak susu secara umum merupakan senyawa kimia yang masuk dalam kelompok ester yang tersusun atas asam-asam lemak dan gliserol. Sembilan puluh persen dari komponen lemak susu adalah asam-asam lemak yang terbagi atas asam-asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh. Asam lemak jenuh yang dominan dalam lemak susu secara berurutan adalah asam miristat, palmitat dan stearat dengan kisaran 7 - 11%; 25 - 29% dan 7 - 13% dari total asam lemak (Adnan, 1984). Ketiga asam lemak tersebut berbentuk padat pada suhu kamar. Sedangkan asam lemak tak jenuh yang terkandung adalah asam oleat dengan kisaran 30 - 40% dan pada suhu kamar berbentuk cair (Apandi, 1993). Karakteristik dari lemak susu juga ditandai dengan adanya kandungan asam butirat dan kaproat dengan kisaran 3 - 4,5% dan 1,3 - 2,2% (deMan, 1997 dan Widodo, 2003).
Lemak didalam susu dalam bentuk jutaan bola kecil yang bergaris tengah rata-rata 3 mikron (Buckle et al., 1987). Noor, (2002) dan Rahman et al. (1992) menjelaskan bahwa butiran-butiran atau yang disebut juga globula tersebar merata didalam susu sebagai emulsi lemak dalam air, dimana globula lemak berada dalam fase terdispersi. Setiap globula lemak dilapisi oleh lapisan tipis yang terdiri dari protein dan fosfolopida, terutama lesitin yang terdapat dalam jumlah kecil di dalam susu. Adanya lapisan ini yang menyebabkan globula lemak tidak dapat bergabung satu sama lain sehingga emulsi susu menjadi stabil. Kandungan lemak dalam susu nantinya dapat berpengaruh dalam pembentukan asam lemak dan pada akhirnya akan menciptakan citarasa yang khas (Legowo, 2002).
Pemecahan lemak (lipolisis) telah diyakini merupakan reaksi kimia penting dalam pengembangan cita rasa dalam pembuatan yogurt. Walaupun telah diketahui bahwa lipolisis dianggap reaksi biokimia penting dalam pengembangan rasa, tidak banyak publikasi yang menyangkut pemecahan lemak selama proses fermentasi. Lipolisis selama proses fermentasi susu diduga berpengaruh terhadap citarasa produk akhir karena akan menghasilkan asam lemak mudah terbang atau ”Volatile Fatty Acid” (VFA). Menurut Simanjuntak dan Silalahi (2003) yang termasuk golongan VFA antara lain asam kaproat, asam kaprilat dan asam kaprat. Menurut Soeparno (1992) asam lemak tersebut termasuk golongan asam lemak mudah larut, sehingga berperan penting dalam pembentukan cita rasa produk olahan susu.
Susu kambing merupakan susu yang mengandung unsur yang lebih kaya akan asam lemak rantai pendek dan medium dibandingkan pada susu sapi (Van den Berg, 1990). Moeljanto dan Wiryanto (2002), juga menyatakan bahwa susu kambing memiliki lemak yang lebih mudah dicerna, mudah menguap (volatil), dan bersifat tidak stabil serta mudah terurai, sehingga mempengaruhi flavor susu dan derivatnya (Rahman et al., 1992; Soeparno,1992).
Oleh karena lipolisis merupakan proses yang harus ada di dalam setiap pembuatan yogurt, maka jumlah lemak awal susu, sangat mungkin berpengaruh terhadap jumlah asam lemak pada saat yogurt terbentuk. Oleh karena susu kambing mempunyai kandungan lemak yang lebih tinggi daripada susu sapi maka, komposisi asam lemak di dalam yogurt yang berasal dari susu kambing juga akan sangat mungkin menunjukkan perbedaan dalam hal kuantitas dibandingkan dengan asam lemak pada yogurt yang terbuat dari susu sapi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan asam lemak rantai pendek (asam kaproat, asam kaprilat, asam kaprat ) selama proses fermentasi susu menjadi yogurt. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi tentang perubahan asam lemak rantai pendek (asam kaproat, asam kaprilat, asam kaprat) selama proses fermentasi.


BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2005. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro dan Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian

Materi dan Peralatan Penelitian
Materi yang digunakan adalah susu sapi segar, susu susu kambing segar, “Starter Culture” (Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus acidophilus dan Streptococcus thermophillus), alkohol 70% dan aquades. Bahan untuk pengujian keasaman yaitu NaOH 0,1 N, phenolphtalein 1%. Sedangkan bahan untuk preparasi sampel pengujian asam lemak dengan metode GC yaitu methanol, dietil eter, gas nitrogen, BF3 metanol, n-Hexsana.
Peralatan yang digunakan adalah seperangkat alat Gas Chromatography (GC), oven, inkubator, refrigerator, otoklaf, pengaduk, gelas ukur, gelas beaker, erlenmeyer, termometer, pipet ukur, kertas label, waterbath, alumunium foil, kapas, magnetik stirrer, bunsen, timbangan analitik.

Metode Penelitian
Terlebih dahulu dilakukan persiapan penelitian yang meliputi penyiapan ruangan dan peralatan. Sterilisasi laboratorium, peralatan yang tahan panas disterilisasi kering dalam oven pada suhu 170ºC selama 1 jam dan sterilisasi peralatan yang dipakai pada penelitian yaitu dengan diautoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit.

Pembuatan “Starter”
Cara pembuatan kultur “starter” sesuai dengan petunjuk Tamime dan Robinson (1989), dilakukan dalam tiga tahap yaitu pembuatan ”starter” kemudian dilanjutkan dengan meremajakan ”starter”. Selanjutnya “starter” ini digunakan untuk “starter” dalam pembuatan yogurt dengan konsentrasi 5%.

Prosedur Pengukuran Asam Lemak
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode GC untuk mengetahui kadar asam lemak rantai pendek (asam kaproat, asam kaprilat dan asam kaprat) dengan sistem esterifikasi asam- asam lemak dari lemak menjadi ester- esternya, yaitu dengan prosedur : 1). Ukur 5 ml yogurt dimasukkan dalam tabung reaksi, tambakan metanol dan dietil eter dengan perbandingan 1:1 gojog; 2). Terbentuk dua lapisan yang terpisah dimana eter terdapat di lapisan atas larutan; 3). Eter tersebut kemudian diuapkan dengan gas nitrogen sampai eter menguap semua; 4). Supernatan yang tertinggal kemudian ditambah BF3 metanol ± 3 tetes; 5). Campurkan menggunakan “hot plate stirrer” (40-600C) ± 30 menit; 6). Dinginkan ; 7). Ditambahkan n-Hexana ± 3 tetes dan divotek sampai larutan membentuk dua lapisan; 8). Ambil 1 μm larutan bening bagian atas larutan. Ester- ester asam lemak yang telah disiapkan kemudian diinjeksikan melalui injektor alat GC untuk pemisahan, dan identifikasi serta penentuan kuantitatif asam- asam lemaknya dapat dilakukan dari khromatogram yang diperoleh (Kirk, et al., 1991 dan Sudarmadji et al., 1996). Kadar asam lemak dianalisis secara deskriptif yang membandingkan asam lemak pada yogurt susu sapi dan yogurt susu kambing dengan kadar asam lemak pada fermentasi selama 0 jam, 3 jam, dan 5 jam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran asam kaproat, asam kaprilat, dan asam kaprat, dengan menggunakan Gas Chromatografi Hewlett Packard 5890 Series II dengan kolom CP silicon 5 CB diperoleh hasil seperti tertera pada Tabel 1, 2, dan 3.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Asam Kaproat pada Yogurt
Lama Inkubasi (Jam) Jenis susu
(dalam mg/100 g lemak susu)
Susu sapi Susu kambing
0 7,35 61,20
3 8,02 39,30
5 24,34 71,53

Melihat hasil yang diperoleh maka asam kaproat menunjukkan adanya trend kenaikan sampai dengan akhir penelitian, walaupun pada pertengahan masa fermentasi, terdapat penurunan jumlah asam lemak kaproat.
Pada lama inkubasi 5 jam atau akhir penelitian, asam kaproat mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri asam laktat (BAL) bekerja menghasilkan asam laktat sebagai produk utama dan asam lemak mudah menguap (volatil) termasuk asam kaproat. Enzim lipase yang dihasilkan dari metabolisme bakteri asam laktat (BAL) maupun yang terdapat secara alami dalam susu serta sifat lipolitik yang dimilikinya menghidrolisis lemak akan menghasilkan asam-asam lemak termasuk asam kaproat didalamnya dan gliserol. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahman et al. (1992) bahwa enzim lipase akan menghidrolisis lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserol dimana enzim lipase tersebut berasal dari mikroba atau terdapat secara alami di dalam susu. Widodo (2003) menjelaskan bahwa lipolisis disebabkan oleh adanya enzim lipase yang aktif pada temperatur tinggi dan terjadi pada lemak yang mengalami kerusakan pada membran globula.
Pada inkubasi 3 jam, jumlah asam kaproat sempat mengalami penurunan jumlahnya, hal ini sangat dimungkinkan karena bakteri asam laktat (BAL) belum optimum dalam memproduksi asam kaproat karena masih dalam fase pertumbuhan, ini sesuai dengan pendapat Kosikowski (1977) yang menyatakan pada fase pertumbuhan bakteri membutuhkan bahan-bahan organik untuk pertumbuhannya. Bylund (1995) menyatakan bahwa bakteri asam laktat (BAL) membutuhkan nitrogen organik untuk tumbuh yang diperoleh dari perombakan kasein susu dengan bantuan enzim.
Tabel 2. Hasil Pengukuran Asam Kaprilat pada Yogurt
Lama Inkubasi (Jam) Jenis susu
(dalam mg/100 g lemak susu)
Susu sapi Susu kambing
0 21,40 18,74
3 14,15 18,45
5 23,51 58,04

Hasil dari pengukuran asam lemak kaprilat, menunjukkan bahwa selama proses fermentasi terdapat trend kenaikan walaupun pada pertengahan penelitian, menunjukkan adanya penurunan jumlah asam kaprilat.
Pada akhir penelitian, asam kaprilat mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri asam laktat (BAL) bekerja untuk menghasilkan asam laktat sebagai produk utama dan asam lemak mudah menguap (volatil) termasuk asam kaprilat didalamnya. Enzim lipase yang dihasilkan dari metabolisme bakteri asam laktat (BAL) maupun yang terdapat secara alami dalam susu serta sifat lipolitik yang dimiliki oleh bakteri asam laktat (BAL) yaitu menghidrolisis lemak akan menghasilkan asam-asam lemak termasuk asam kaprilat didalamnya dan gliserol. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahman et al. (1992) bahwa enzim lipase akan menghidrolisis lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserol dimana enzim lipase tersebut berasal dari mikroba atau terdapat secara alami di dalam susu. Widodo (2003) menjelaskan bahwa lipolosis disebabkan oleh adanya enzim lipase yang aktif pada temperatur tinggi dan terjadi pada lemak yang mengalami kerusakan pada membran globula.
Pada inkubasi 3 jam, bakteri asam laktat (BAL) belum optimal memproduksi asam kaprilat karena masih dalam fase pertumbuhan, ini sesuai dengan pendapat Kosikowski (1977) yang menyatakan bahwa pada fase pertumbuhan bekteri membutuhkan bahan-bahan organik untuk pertumbuhannya. Bylund (1995) menyatakan bahwa bakteri asam laktat (BAL) membutuhkan nitrogen organik untuk tumbuh yang diperoleh dari perombakan kasein susu dengan bantuan enzim.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Asam Kaprat pada Yogurt
Lama Inkubasi (Jam) Jenis susu
(dalam mg/100 g lemak susu)
Susu sapi Susu kambing
0 11,50 39,50
3 7,70 16,67
5 22,05 33,54

Pada akhir penelitian asam kaprat pada yogurt susu sapi, mengalami kenaikan dibandingkan dengan awal penelitian. hal ini tidak terjadi pada yogurt susu kambing. Walaupun tidak terjadi peningkatan jumlah asam kaprat antara awal inkubasi dan akhir inkubasi, namun tetap terdapat kenaikan jika dibandingkan dengan masa pertengahan inkubasi.
Pada inkubasi 3 jam, bakteri asam laktat (BAL) diduga belum optimal dalam memproduksi asam kaprat karena masih dalam fase pertumbuhan, ini sesuai dengan pendapat Kosikowski (1977) yang menyatakan bahwa pada fase pertumbuhan bekteri membutuhkan bahan-bahan organik untuk pertumbuhannya. Bylund (1995) menyatakan bahwa bakteri asam laktat (BAL) membutuhkan nitrogen organik untuk tumbuh yang diperoleh dari perombakan kasein susu dengan bantuan enzim. Schlegel (1993) menerangkan bahwa semua organisme mendapatkan karbon dari nutrient organik. Nutrient organik ini sebagian terasimilasi ke dalam substansi sel dan sebagian dioksidasi untuk memperoleh energi untuk pertumbuhan.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan lama waktu inkubasi dalam proses fermentasi yaitu pembuatan yogurt susu kambing berpengaruh terhadap kandungan asam-asam lemak yang meliputi asam kaproat, asam kaprilat dan asam kaprat. Asam-asam lemak tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan antara awal penelitian dan akhir penelitian. Namun pada pertengahan masa inkubasi, terdapat penurunan semua jumlah asam lemak pada semua jenis yogurt.

PENGHARGAAN
Ucapan terimakasih terutama ditujukan pada pihak Direktorat Pendidikan Tinggi yang telah membiayai seluruh operasional kegiatan penelitian.







PUSTAKA

Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Apandi, M. 1993. Teknologi Susu. Universitas Bandung Raya, Bandung.
Buckle, K. A, R. A. Edwards; G.H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta (Diterjemahkan oleh H Purnomo dan Adiono).
Bylund, G. 1995. Diary Processing. Tetra Pak, Swedia.
deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Kirk, S. Ronald. dan R. Sawyer. 1991. Compotition and Analysis of Food. Legman Scientific and Technical, Singapore.
Kosikowski. 1997. Cheese and Ferment Milk Products. 4th Ed Edward Brothers, Inc, New York.
Legowo, A. M. 2002. Peranan Yogurt sebagai Makanan Fungsional. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 27: 142 – 150.
Moeljanto, R. D., dan B. T. W. Wiryanto. 2002. Khasiat dan Manfaat Susu Kambing Terbaik dari Hewan Ruminansia. PT. Agro Media Pustaka, Jakarta.
Noor, R. R. 2002. Khasiat Susu dan Daging Kambing. (http://www.kesehatan.com/news/htm diakses 14 April, 10.30 WIB)
Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahayu, Suliantri, C. C. Nurwitri. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Schlegel, H.G. 1993. General Microbiology. 7th Ed., George Thieme Verlag,
Stuttgart
Simanjuntak, M.T dan J. Silalahi. 2003. Biokimia. http;//www.Library.usu.ac.id
(Didownload tanggal 1 Februari 2006)
Soeparno. 1992. Prinsip Kimia dan Teknologi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sudarmadji, S; B. Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Keempat, Liberty, Yogyakarta.
Tamime, A Y., dan R. K. Robinson. 1989. Yogurt : Science and Technology. Pergamon Press, New York.
Van den Berg, J.C.T. 1990. Dairy Technology In The Tropic And Subtropic. Pudoc. Wageningen.
www.infoternak.gov.my/index.com. Komposisi Susu Kambing. diakses 14 April 2006, 10.30 WIB.
Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Lacticia Press, Yogyakarta.


Diambil dari
proseding seminar PATPI, Agustus 2006

EVALUASI KOMPOSISI KIMIA SUSU KAMBING SEGAR YANG DIFORTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DENGAN KEHADIRAN EKSTRAK SUSU KEDELAI

EVALUASI KOMPOSISI KIMIA SUSU KAMBING SEGAR YANG DIFORTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DENGAN KEHADIRAN EKSTRAK SUSU KEDELAI

A.N. Al-Baarri dan T.W. Murti

INTISARI1

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan komposisi kimia (pH, kadar keasaman setara asam laktat, kadar laktosa, kadar glukosa, kadar galaktosa) susu kambing segar yang telah difortifikasi (dicemari) bakteri asam laktat (Streptococcus thermohillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus) tanpa dan dengan penambahan ekstrak susu kedelai yang diinkubasi selama 24 jam pada suhu 39° C. Susu kambing segar diinokulasi starter Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus masing-masing sebanyak 1,5% volume secara steril. Terdapat dua macam perlakuan yaitu smapel tanpa penambahan ekstrak susu kedelai sebanyak 1% volume. Sampel diambil dari masing-masing perlakuan pada jam inkubasi ke-0,2 ,4 , 6, 8, 24 untuk diuji laboratorium. Kadar laktosa, glukosa, galaktosa, dideteksi dengan menggunakan metode HPLC. Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan rancangan faktorial 2x6 dilanjutkan dengan Duncan New’s Multiple Range Test. Hasil analisis statistik menunjukkan pH, kadar keasaman setara asam laktat, kadar laktosa, kadar glukosa, dan kadar galaktosa sangat dipengaruhi oleh waktu inkubasi (P<0,01).>

kata kunci : Susu Kambing Segar, Bakteri Asam Laktat, Ekstrak Susu Kedelai, Waktu Inkubasi, Komposisi Kimia.


EVALUATION OF CHEMICAL COMPOSITION CHANGES IN

GOATMILK FORTIFICATED BY LACTIC ACID BACTERIA AND THE

PRESENCE OF SOYMILK EXTRACT

A.N. Al-Baarri dan T.W. Murti

ABSTRACT1

This study was done to look into chemical compotition changes (pH, acidity, and lactose, glucose, galactose content) of goatmilk fortificated by lactic acid bacteria (Streptococcus thermophillus and Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus) in the presence of soymilk extract were incubated at 39°C during 24 hours. Goatmilk were inoculated 1,5% Streptococcus thermophillus (v/v) and Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus (v/v) starters by steril treatment. There are two treatments i.e. sample without soymilk extract added and sample has presence of 1% soymilk extract. Samples were taken at 0,2, 4, 6, 8, 24 incubation time. Laboratory tests were done to pH, acidity, and lactose, glucose, galactose contens. HPLC method was used to detect lactose, glucose, galactose content. Collected data were analysed with 2x6 factorial design and followed by Duncan New’s Multiple Range Test. The result indicated pH, acidity, and lactose, glucose, galactose content were influenced by incubation time (P<0,01).>

Keyword : Goatmilk, Lactic Acid Bacteria, Soymilk Extract, Incubation Time, Chemical Changes.


PENDAHULUAN

Susu yang dibiarkan dalam keadaan terbuka akan mengalami pencemaran oleh bakteri baik yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan. Jika tersebut mengalami pencemaran karena bakteri yang sebagian besar merupakan bakteri yang menguntungkan, terlebih lagi jika temperatur dan faktor lain seperti adanya faktor pertumbuhan bakteri menguntungkan tersebut dan menekan pertumbuhan yang tidak menguntungkan, maka susu yang telah tercemari bakteri tersebut tidak membahayakan dan akan menguntungkan konsumennya dan hal ini pada prinsipnya sama dengan yang dilakukan oleh orang-orang Barat pada jaman dahulu, ke dalam susu segar dimasukkan beberapa mililiter yogurt yang telah dibuat sebelumnya dan inkubasi yang dilakukan hanyalah sekedar pemanasan di dekat pemanas sampai kekentalan dan rasa yang diinginkan tercapai. Hal ini bertujuan agar keluarga dapat menikmati susu dengan ragam yang berbeda dan untuk lebih mengawetkan susu yang diproduksi secara keluarga tersebut.

Susu segar dapat etrkonversi menjadi yogurt jika bakteri yang masuk ke dalam susu segar adalah bakteri yogurt yang baik itu yang sengaja dimasukkan atau tidak sengaja masuk ke dalam susu segar. Hal ini dapat dengan mudah oleh semua orang yang telah mengetahui prinsip pembuatan yogurt.

Pembuatan yogurt tidak hanya berasal dari susu sapi saja tetapi berbagai macam susu, dapat dibuat yogurt termasuk susu kedelai. Susu kedelai khususnya di Indonesia, dapat diterima konsumen. Tetapi di negara-negara Barat, konsumen kurang menyukai produk kedelai ini karena aromanya yang begitu asing dan menyengat. Salah satu cara untuk mengurangi aroma yang berbau khas kedelai tersebut adalah dengan membuat yoghurt susu kedelai. Susu kedelai cocok sebagai medium untuk pertumbuhan bakteri asam laktat, yang akan meningkatkan kualitas produk fermentasi susu kedelai yang dikenal dengan nama yoghurt susu kedelai atau soyogurt. Dihasilkan dari biji kedelai, soyogurt mempunyai kelebihan dalam kandungan nutrisinya dan segi kesehatannya karena tidak mengandung kolesterol dan laktosa serta sedikit asam lemak jenuh terlebih lagi secara ekonomis, murah harganya.

Pertumbuhan bakteri dapat dilihat dari perubahan nilai pH, keasaman setara asam laktat, dan kandungan gulanya (laktosa, glukosa, dan galaktosa) akibat inokulasi bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana susu kedelai dapat berfungsi sebagai faktor pertumbuhan bakteri yoghurt yang ditambahkan setelah penanaman bibit bakteri di dalam susu kambing. Pendayagunaan susu kedelai perlu dilakukan dalam pembuatan yoghurt susu kambing baik itu yang dibuat sengaja atau yang telah tercemar secara tidak sengaja oleh bakteri yoghurt dimana kedua susu tersebut sama-sama menngeluarkan aroma yang khas dan menyengat dengan cara mencampurkan ekstrak susu kedelai ke dalam yoghurt susu kambing tersebut.

Susu didefinisikan sebagai hasil perahan dari ternak laktasi baik dari golongan ruminansia seperti sapi, kambing, domba, kerbau, kijang maupun dari hewan non ruminansia seperti kuda. Susu merupakan bahan pangan yang tersusun oleh zat-zat makanan denga proporsi yang seimbang, dapat dipandang sebagai bahan yang mengandung sumber zat-zat makanan yang penting ( Adnan, 1984).

Susu merupakan bahan makanan yang hampir sempurna karena mengandunng beberapa komponen yang tidak terdapat dalam bahan makanan lain. Tidak ada bahan lain yang berdiri sendiri dapat menggantikan fungsi susu dalam menu makanan. Nilai nutrisi tersebut berefek positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak serta hewan muda ( Lampert, 1970).

Susu kambing memiliki kandungan total solid 13,9%, lemak 4,8%, protein 3,7%, bahan kering tanpa lemak 9,1%, abu 0,85%, dan laktosa 5%. Non protein nitrogen susu kambing lebih tinggi dari susu sapi, kaseinnya mengandung arginin, isoleusin dan valin yang lebih rendah dibanding kasein susu sapi tetapi memiliki kandungan yang lebih tinggi pada asam amino histidin, asam aspartat, dan tirosin (Davendra, 1980).

Selain berbagai keunggulan yang dimiliki susu kambing, pembuatan produk peternakan yang berasal dari susu kambing sangat diperlukan mengingat produksi susu kambing belum dimanfaatkan dengan baik.

Yogurt adalah salah satu hasil fermentasi berbagai macam susu. Menurut Tamime dan Deeth (1980), yogurt merupakan jenis susu fermentasi sebagai makanan tradisional dan penyegar yang berasal dari daerah Balkan dan Timur Tengah. Asal kata yogurt adalah dari Turki dan untuk setiap negara mempunyai sebutan yang berbeda-beda. Meskipun masih terdapat banyaknya pendapat dari para ahli tentang definisi yogurt, Tamime dan Deeth (1980) mendefinisikan sebagai hasil fermentasi usu dengan starter campuran yang hanya terdiri dari Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus.

Susu yang berasal dari berbagai macam mamalia bisa digunakan untuk membuat yogurt seperti sapi (Bos Taurus), kerbau (Bubalus bubalis), kambing (Capra hircus), domba (Ovis aries), babi (Sus scrofa), tetapi sebagian besar industri pembuatan yogurt memakai susu sapi sebagai bahan bakunya (Hui, 1993). Susu kambing lebih populer dipakai untuk membuat yogurt di Norway, dimana populasi kambing di negara ini cukup banyak, sehingga produk asal susu kambing cukup banyak ditemukan di daerah ini.

Suhu optimum untuk inkubasi bakteri dalam pembuatan yogurt adalah 40°C - 45°C. Suhu inkubasi yang optimum dapat mengurangi efek negatif dari pembuatan yogurt, seperti adanya efek yang kurang baik pada kualitas yogurt, pembentukan whey (Tamime dan Deeth, 1980). Namun untuk mengetahui perkembangan aktifitas bakteri dalam saluran pencernaan manusia, suhu inkubasi disamakan dengan rata-rata suhu saluran pencernaan yaitu 39°C. Pada suhu ini Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus dapat berkembang tapi perkembangannya tidak optimum.

MATERI DAN METODE

Materi

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu kambing segar, starter Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus, serta bahan untuk preparasi sampel yaitu TCA, NaOH, Aquades, Aquabides. Alat yang digunakan untuk penelitian meliputi perangkat HPLC, waterbath, lemari es, milipore filter, pH meter, Buret, timbangan analitik, pipet ukur, pipet tetes, botol ulir, beker glass, labu ukur, autoclave, laminer, lampu bunsen, tissu, lemari es.

Peralatan yang digunakan untuk uji kromatografi cair adalah yaitu syringe injektor, column oven, Communication Bus Module, Load Chromatograph (LC), Refractive Index Detector, Pencetak data (Printer).

Metode

Pertama-tama, dilakukan sterilisasi alat yang dipakai pada penelitian dengan diautoklaf pada suhu 125°C selama 15 menit. Susu yang akan digunakan untuk pembuatan yogurt, sebelumnya juga disterilisasi terlebih dahulu pada suhu 110°C selama 10 menit. Sterilisasi tersebut, juga dilakukan guna menghindari kontaminasi bakteri lain.

Jumlah bakteri yang diinokulasi ke dalam susu adalah sebanyak 10%V/V. Cara penginokulasian adalah dengan mengambil sejumlah starter dari wadah starter dengan pipet steril di dalam tempat yang steril (laminer).

Susu kambing segar difortifikasi/diinokulasi bakteri asam laktat, yaitu Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus, kemudian diinkubasi selama 8 jam pada suhu 42°C. Sampel diambil diambil pada jam ke-0, 2, 4, 6, 8 inkubasi untuk diadakan analisis lanjutan.

Langkah selanjutnya adalah mempersiapkan sampel supaya dapat diuji dengan HPLC. Langkah kerja persiapan sampel untuk HPLC dapat dilihat pada Gambar 1.


Ditimbang 2 gram susu (digojog dahulu)

Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml

Dilusikan dengan 20 ml aquabides + 1 ml TCA 3M

Didiamkan selama 10 menit

Dinetralisirkan dengan 1 M NaOH

Ditambahkan aquabides sampai 100 ml

Disaring dengan kertas Whatman No. 1

Filter dengan syringe 0,2 mm

Larutan hasil saringan yang jernih untuk diuji dengan menggunakan HPLC

Gambar 1. Langkah kerja persiapan sampel untuk dianalisis dengan menggunakan HPLC (sumber: Boehringer Mannheim, 1984)

Langkah berikut adalah analisis sampel dengan pH meter, serta dengan cara titrasi. Masing-masing sampel diuji dengan HPLC dengan macam kolom HPX-87H dengan diameter dan panjang kolom internalnya 4,2 mm x 72 cm . Detektor yang digunakan untuk analisis kromatografi yaitu menggunakan dua detektor yang berbeda, yaitu detektor jenis Refractive Index.

Semua hasil yang didapat kemudian akan dianalisis secara kuantitatif dengan cara membandingkannya untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan. Selain dianalisis secara deskriptif, untuk menguji perbedaan hasil yang didapat dari penggunaan masing-masing kolom pada analisis susu dan susu fermentasi, digunakan pula uji Completly Randomized Design pola Faktorial 2x6 dan jika menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf signifikansi 0,01 (Astuti, 1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan pH

Tabel 1. Data perubahan pH pada yogurt susu kambing tanpa penambahan ekstrak susu kedelai dan yogurt dengan penambahan ekstrak susu kedelai pada suhu 39°C selama 24 jam.

Jenis Yogurt

Waktu Inkubasi

0

2

4

6

8

24

Rerata

Y

6,800

6,600

6,800

6,400

6,400

5,900

6,800

6,650

6,800

6,450

6,400

5,900

6,800

6,700

6,800

6,500

6,400

5,900

rerata

6,800

6,650

6,800

6,450

6,400

5,900

6,500e

Y+E

6,800

6,700

6,600

6,400

6,300

5,700

6,850

6,750

6,650

6,450

6,300

5,700

6,900

6,800

6,700

6,500

6,300

5,700

rerata

6,850

6,750

6,650

6,450

6,300

5,700

6,450f

Total rerata

6,825a

6,700b

6,725ab

6,450c

6,350c

5,800d

abcdef superskrip yang berbeda pada waktu inkubasi yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,01).

Keterangan :

Y = Yogurt susu kambing

Y+E = Yogurt susu kambing ditambah ekstrak susu kedelai

Hasil analisis pH susu kambing pada kedua jenis yogurt tersebut terhadap lama inkubasi, memperlihatkan adanya penurunan pH yang sangat tajam (P<0,01) style=""> Walaupun penurunan ini sangat tajam akan tetapi perubahan untuk setiap kali pengamatan tergolong lambat. Rystad dan Abrahamsen (1987) menjelaskan bahwa penurunan pH hampir sama antara yogurt susu sapi dan susu kambing. Oleh karena itu pustaka tentang pH susu sapi, dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini mengingat pustaka tentang susu kambing masih tergolong sedikit. Penurunan pH ini sesuai dengan yang dikatakan Buckle et.al. (1987), bahwa adanya kegiatan mikroorganisme yang menghasilkan asam laktat, dapat menurunkan pH susu menjadi 4,0 sampai 4,5. Demikian juga dengan pernyataan Eiber dan Brunner (1979) bahwa selama proses fermentasi, pH menurun dari 6,2 ke 4,0 selam 6 jam proses inkubasi, pH menurun hingga 4,2 pada susu sapi maupun susu kambing.

Rerata pH yang dicapai pada akhir penelitian adalah 5,800. Hal ini kurang sesuai dengan hasil penelitian Euber dan Brunner (1979), bahwa sampai 6 jam proses inkubasi, pH mencapai 4,0. Demikian juga hal ini kurang sesuai dengan penelitian Rysstad dan Abrahamsen (1987), yang menyatakan setelah 8 jam inkubasi, pH menurun hingga 4,2 pada susu sapi maupun susu kambing. Fenomena ini disebabkan oleh lama inkubasi, jumlah dan umur starter yang digunakan, adalah berbeda-beda dan starter yang digunakan untuk penelitian termasuk starter kultur tua sehingga laju penurunan pH tergolong lambat. Kosikowski (1977) menambahkan bahwa keasaman produk fermentasi dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam membentuk asam laktat. Kemampuan starter tersebut, ditentukan oleh jumlah dan jenis starter yang digunakan.

Perhitungan rasio starter bakteri Strepcoccus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. Bulgaricus yang digunakan untuk pembuatan yogurt sampai saat ini belum ada standar yang jelas. Menurut Tamime dan Deeth (1980), rasio bakteri Streptoccus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. Bulgaricus dari berbagai penelitian dapat berbeda-beda pengelompokkannya, yaitu menurut koloni dibanding koloni, rantai dibanding rantai atau sel dibanding sel. Perbedaan rasio inilah yang akan menghasilkan yogurt dengan komposisi yang berbeda antar hasil penelitian

pH awal pada penelitian ini adalah rata-rata adalah 6,83. pH normal susu menurut Buckles et. al. (1978), bahwa pH susu berada diantara 6,6-6,7 dan bila terjadi pengasaman oleh aktivitas bakteri, nilai tersebut akan munurun secara nyata. Menurut Jennes dan Patton (1985), susu segar umumnya mempunyai pH antara 6,5-6,7. Nilai pH yang lebih besar dari 6,7 biasanya menunjukkan adanya gangguan pada putting susu seperti mastitis, sebaliknya jika pH dibawah 6,5 menunjukkan kolustrum atau terjadinya pengasaman karena aktifitas bakteri. pH pada awal inkubasi sedikit lebih tinggi dari berbagai pustaka yang digunakan. Akan tetapi efek dari pemanasan yang dilakukan pada penelitian ini dapat menyebabkan pH menjadi naik. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Tamime dan Deeth (1980) bahwa pemanasan mempunyai efek pada waktu inkubasi dan pH. Perlakuan pemanasan, dapat mempersingkat waktu inkubasi dan dapat meningkatkan pH. Selanjutnyaditerangkan juga menurunnya waktu inkubasi dan lebih tingginya pH, dapat diakibatkan karena pemanasan susu selama 30 menit jika dibandingkan dengan susu yang dipanaskan kemudian langsung didinginkan.

Hasil analisis statistik menunjukkan adanya interaksi antara waktu inkubasi dan pH pada kedua jenis yogurt (P<0,01). Seiring dengan lamanya waktu inkubasi, pH yang dicapai semakin menurun karena adanya aktifitas bakteri asam laktat tersebut lebih tinggi lagi dengan adanya penambahan ekstrak susu kedelai yang akan menurunkan pH akhir yang dicapai. Penambahan ekstrak susu kedelai, dapat lebih menurunkan pH (P<0,05)>

Kadar Keasaman Setara Asam Laktat

Tabel 2. Data Perubahan Kadar Keasaman Setara Asam Laktat (%) pada Yogurt Susu Kambing Tanpa Penambahan Ekstrak Susu Kedelai dan Yogurt dengan Penambahan Ekstrak Susu Kedelai pada Suhu Inkubasi 39°C Selama 24 Jam.

Jenis Yogurt

Waktu Inkubasi

0

2

4

6

8

24

Rerata

Y

0,240

0,220

0,260

0,360

0,450

0,600

0,250

0,230

0,260

0,350

0,460

0,600

0,250

0,235

0,260

0,350

0,460

0,595

rerata

0,247

0,228

0,260

0,353

0,457

0,598

0,357e

Y+E

0,240

0,260

0,250

0,410

0,440

0,675

0,240

0,255

0,250

0,405

0,440

0,670

0,240

0,260

0,255

0,410

0,435

0,670

rerata

0,240

0,258

0,252

0,408

0,438

0,672

0,378f

Total rerata

0,243a

0,243a

0,256a

0,381b

0,448c

0,635d

abcdef superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,01).

Keterangan :

Y = Yogurt susu kambing

Y+E = Yogurt susu kambing ditambah ekstrak susu kedelai

Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perubahan yang cukup tajam selama inkubasi. Tinggi rendahnya kadar asam laktat setiap penelitian adalah berbeda-beda. Lampert (1975) menyatakan bahwa kecepatan terbentuknya asam laktat tergantung pada jumlah bakteri yang mencemari susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Kosikowski (1977) bahwa tinggi rendahnya kadar asam laktat dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam membentuk asam laktat yang ditentukan oleh jumlah dan jenis starter yang digunakan. Rasio bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus juga akan mempengaruhi kadar asam laktat (Tamime dan Deeth, 1980). Menurut Rystad dan Abrahamsen (1987), keasaman lebih cepat meningkat pada yogurt susu kambing daripada yogurt susu sapi.

Semakin banyak dan semakin mampu bakteri yang mencemari susu untuk memproduksi asam laktat, semakin tinggi asam laktat yang terbentuk pada yogurt (Kosikowski, 1977). Keasaman yogurt susu kambing dapat mencapai 1,16% pada susu kambing dan 0,79% pada susu sapi (Rysstad dan Abrahamsen, 1987). Perbedaan hasil titrasi keasaman pada masing-masing penelitian tergantung pada suhu inkubasi, lama inkubasi dan serta jumlah serta jenis starter yang diinokulasi.

Keasaman setara asam laktat pada hasil penelitian ini meningkat tajam dari 0,243% hingga 0,635%. Hasil yang diperoleh mengenai kadar keasaman serta asam laktat ini berbeda-beda pada berbagai macam penelitian karena berbagai faktor yang mempengaruhinya antara lain umur kultur yang digunakan, waktu dan suhu inkubasi. Tetapi semua pustaka yang digunakan menyatakan bahwa kadar keasaman setara asam laktat akan meningkat dengan sangat tajam sejalan dengan waktu inkubasi.

Kadar Laktosa

Tabel 3. Data Perubahan Kadar Laktosa (%) pada Yogurt Susu Kambing Tanpa Penambahan Ekstrak Susu Kedelai dan Yogurt dengan Penambahan Ekstrak Susu Kedelai pada Suhu Inkubasi 39°C Selama 24 Jam.

Jenis Yogurt

Waktu Inkubasi

0

2

4

6

8

24

Rerata

Y

4,550

4,280

4,010

3,691

3,650

3,180

4,552

4,290

4,020

3,690

3,660

3,170

4,559

4,295

4,030

3,695

3,661

3,160

rerata

4,554

4,285

4,025

3,692

3,657

3,170

3,897e

Y+E

4,910

4,600

4,460

4,230

3,850

3,510

4,890

4,615

4,440

4,205

3,850

3,520

4,999

4,610

4,465

4,220

3,852

3,530

rerata

4,933

4,608

4,455

4,218

3,851

3,520

4,264f

Total rerata

4,743a

4,447a

4,240ab

3,955bc

3,754c

3,345d

abcdef superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05).

Keterangan :

Y = Yogurt susu kambing

Y+E = Yogurt susu kambing ditambah ekstrak susu kedelai

Data tabel tersebut menunjukkan adanya perubahan yang sangat tajam (P<0,01)>et. al. (1982) , kadar laktosa 35,4% dari 6,53% sampai 4,22% setelah 10 jam inkubasi pada 41°C. Selanjutnya diterangkan juga laktosa pada yogurt menurun dari 6,23% hingga 3,88% selama 3 jam inkubasi pada suhu 40° C sampai 50° C. Goodenough dan Kleyn (1975) juga menyatakan bahwa laktosa pada yogurt menurun dari 8,56% sampai 5,56%. Pada kedua yogurt teresbut kandungan laktosa yang dicapai pada akhir penelitian adalah 3,35%. Hasil yang berbeda dibandingkan dengan penelitian lain disebabkan karena waktu dan suhu inkubasi yang digunakan berbeda-beda pada berbagai penelitian.

Tamime dan Deeth (1980) menyatakan bahwa konsentrasi laktosa dapat menurun karena adanya hidrolisa laktosa oleh b-D-galactosidase (lactase) dan diubah manjadi glukosa dan galaktosa. Menurut Goodenough dan Kleyn (1975) secara umum kadar laktosa yang direduksi oleh mikrobia pada susu fermentasi, lebih sedikit daripada laktosa sisa. Laktosa sisa yang terdapat dalam susu fermentasi yang tidak direduksi oleh bakteri berkisar 72%. Peningkatan kadar asam laktosa selama inkubasi dimungkinkan terjadi akibat munculnya Allolactase (6-0-b-D-galactopyranosil-D-glucose) dan 6-0-b-D-galactopyranosil-D-galactose. Oligosakarida ini terbentuk oleh reaksi transgalaktosilasi-b-galaktosidase kultur starter dan meningkat selama fermentasi dan penyimpanan yogurt. Yogurt komersial mengandung 0,03% sampai 0,09% Allolactose dan 6-0-b-D-galactopyranosil-D-galactose (Toba et. al., 1982). Selanjutnya peningkatan kadar oligosakarida setelah 4,6 dan 10 jam fermentasi adalah 0,02%;0,02%;0,08% dan akan meningkat terus selama fermentasi sampai 0,12%.

Laktosa dalam yogurt dihidrolisis di dalam sel bakteri dengan menggunakan enzim b-D-galactosidase menjadi glukosa dan galaktosa. Enzim ini terdapat pada bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus (Toba et. al., 1982).

Hasil analisis statistik menunjukkan adanya interaksi antara waktu inkubasi dan jenis yogurt terhadap kadar laktosa (P<0,01),>bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. Bulgaricus.

Kadar Glukosa

Tabel 4. Data Perubahan Kadar Glukosa (%) pada Yogurt Susu Kambing Tanpa Penambahan Ekstrak Susu Kedelai dan Yogurt dengan Penambahan Ekstrak Susu Kedelai pada Suhu Inkubasi 39°C Selama 24 Jam.

Jenis Yogurt

Waktu Inkubasi

0

2

4

6

8

24

Rerata

Y

0,250

0,230

0,220

0,210

0,250

0,280

0,255

0,255

0,230

0,190

0,240

0,305

0,250

0,240

0,235

0,200

0,230

0,290

rerata

0,252

0,242

0,228

0,200

0,240

0,292

0,242d

Y+E

0,250

0,230

0,210

0,230

0,280

0,270

0,250

0,220

0,205

0,245

0,280

0,275

0,250

0,210

0,200

0,250

0,280

0,260

rerata

0,250

0,220

0,205

0,242

0,280

0,268

0,244d

Total rerata

0,251ac

0,231ab

0,217b

0,221ab

0,260c

0,280c

abcd superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05).

Keterangan :

Y = Yogurt susu kambing

Y+E = Yogurt susu kambing ditambah ekstrak susu kedelai

Data yang diperoleh menunjukkan tidak adanya perubahan yang tajam pada akhir penelitian jika dibandingkan dengan awal penelitian dan perubahan kadar glukosa pada pengamatan yang berurutan kurang menunjukkan adanya perbedaan yang tajam kecuali pada jam ke-6 inkubasi (P<0,01).> Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus,adalah tipe bakteri yang suka kepada glukosa artinya bakteri tersebut mula-mula akan memanfaatkan glukosa terlebih dahulu untuk sumber energinya. Sehingga glukosa yang terbentuk akan langsung dimanfaatkan oleh bakteri ini dan terlihat kadar glukosa yang menurun pada jam awal inkubasi sampai dengan inkubasi ke-6 jam. Di dalam dan di luar sel bakteri terdapat suatu sistem kesetimbangan glukosa bahwa glukosa masuk sama dengan glukosa keluar. Penurunan ini juga dimungkinkan karena glukosa yang telah terbentuk, telah mengalami proses biokimia lebih lanjut. Glukosa yang belum termanfaatkan atau glukosa yang masih berada di luar sel bakteri semakin lama semakin banyak sejalan dengan hidrolisis laktosa. Glukosa yang berada di luar sel inilah yang terdeteksi semakin meningkat oleh HPLC, sedangkan glukosa yang masih berada di dalam sel bakteri tidak dapat terdeteksi (Murti, 1993).

Kenaikan kadar glukosa ini juga dimungkinkan karena adanya kenaikan kadar oligosakarida yang meningkat terus selama inkubasi seperti yang diungkapkan Toba et.al. (1982) bahwa peningkatan kadar oligosakarida setelah 4,6 dan 10 jam fermentasi adalah 0,02%; 0,02%; 0,08% dan akan meningkat terus selama fermentasi sampai 0,12% dan kadar oligosakarida ini ikut terdeteksi oleh alat HPLC sebagai glukosa.

Kadar glukosa pada kedua jenis yogurt tersebut dapat dikatakan tidak ada perbedaan yang tajam. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat pemanfaatan glukosa pada kedua jenis yogurt oleh starter yang digunakan, adalah hampir sama. Pada dasarnya bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus tergolong bakteri yang lebih suka memanfaatkan glukosa lebih dahulu daripada monosakarida lain tetapi kemampuan bakteri untuk menghidrolisis suatu zat adalah berlainan, sehingga kemampuan bakteri untuk memanfaatkan glukosa dengan kadar awal yang berbeda, dapat menghasilkan kadar glukosa pada akhir inkubasi yang sama akibat perbedaan kemampuan bakteri dalam memanfaatkan glukosa tersebut. Akan tetapi, secara rata-rata, kadar glukosa sedikit lebih tinggi pada yogurt dengan penambahan ekstrak susu kedelai. Hal ini karena ada penambahan karbohidrat dari susu kedelai yang ikut terdeteksi di dalam alat HPLC. Oleh karena itu, penambahan ekstrak susu kedelai tidak akan berpengaruh pada kadar glukosa yogurt susu kambing.

Kadar Galaktosa

Tabel 5. Data Perubahan Kadar Galaktosa (%) pada Yogurt Susu Kambing Tanpa Penambahan Ekstrak Susu Kedelai dan Yogurt dengan Penambahan Ekstrak Susu Kedelai pada Suhu Inkubasi 39°C Selama 24 Jam.

Jenis Yogurt

Waktu Inkubasi

0

2

4

6

8

24

Rerata

Y

0,010

0,060

0,010

0,020

0,040

0,070

0,030

0,050

0,035

0,015

0,030

0,065

0,050

0,045

0,015

0,020

0,020

0,065

rerata

0,030

0,052

0,020

0,018

0,030

0,067

0,036d

Y+E

0,070

0,060

0,010

0,010

0,030

0,010

0,060

0,060

0,025

0,020

0,030

0,015

0,050

0,050

0,030

0,020

0,025

0,015

rerata

0,060

0,057

0,022

0,017

0,028

0,013

0,033d

Total rerata

0,045ab

0,056b

0,026ac

0,019c

0,028abc

0,014abc

abcd superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05).

Keterangan :

Y = Yogurt susu kambing

Y+E = Yogurt susu kambing ditambah ekstrak susu kedelai

Hasil penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perubahan yang cukup tajam pada akhir penelitian jika dibandingkan dengan data awal penelitian tetapi perubahan yang cukup besar terdapat pada jam inkubasi ke-2 dan jam ke-4. Namun secara rata-rata kadar galaktosa meningkat sedikit pada awal inkubasi sampai dengan jam ke-2 inkubasi kemudian menurun dengan sangat tajam sampai jam ke-4 dan mulai meningkat sampai akhir penelitian. Hal ini sebagai akibat pemanfaatan galaktosa oleh bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus tergolong kurang. Selanjutnya adanya perubahan kadar galaktosa adalah mengikuti grafik pertumbuhan bakteri. Kenaikan kadar galaktosa dapat terjadi akibat adanya kandungan oligosakarida yang meningkat selama inkubasi. Kenaikan yang tajam akan kandungan oligosakarida pada yogurt selama inkubasi menndakan kurangnya hidrolisis oligosakarida oleh enzim b-galactosiadase dari bakteri asam laktat jika dibandingkan dengan hidrolisis laktosa (Toba, 1982).

Adanya kesetimbangan galaktosa di dalam bakteri dan di luar bakteri adalah salah satu penyebab kenaikan dari penurunan kadar galaktosa. Karena bakteri asam laktat tergolong bakteri yang tidak suka pada galaktosa maka galaktosa yang terbentuk, seiring dengan perkembangan bakteri yang jumlahnya semakin meningkat, karena kurang dimanfaatkan oleh bakteri. Galaktosa yang berada di luar dinding sel inilah yang akan terdeteksi oleh alat HPLC sehingga kadar galaktosa meningkat (Murti, 1993).

Menurut hasil penelitian Toba et.al. (1982), kadar galaktosa meningkat dari 0,04% sampai 1,46% selama 10 jam inkubasi pada suhu 41°C. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan kadar yang dicapai. Hal ini dapat tercapai karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya antara lain suhu inkubasi, waktu inkubasi, kemmpuan starter untuk dimanfaatkan karbohidrat, dan umur starter yang digunakan.

Penambahan ekstrak susu kedelai pada yogurt susu kambing secara statistik tidak menunjukkan adanya pengaruh perubahan kadar galaktosa.

KESIMPULAN

pH, kadar keasaman setara asam laktat , kadar laktosa, kadar glukosa, kadar galaktosa, dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Penambahan ekstrak susu kedelai berpengaruh terhadap pH, kadar keasaman setara asam laktat, dan kadar laktosa tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar glukosa dan kadar galaktosa. Penambahan ekstrak susu kedelai dapat lebih menurunkan pH, lebih meningkatkan kadar keasaman setara asam laktat dan lebih menurunkan kadar laktosa sejalan dengan meningkatnya waktu inkubasi dengan meningkatnya waktu inkubasi pada yogurt susu kambing.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, ekstrak susu kedelai dapat digunakan sebagai faktor pendorong untuk perkembangan bakteri asam laktat. Dengan demikian, adanya penambahan ekstrak susu kedelai, waktu pembuatan yogurt dapat dipersingkat terutama untuk mencapai keasaman dan kemanisan yng diinginkan. Akan tetapi diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh penambahan ekstrak susu kedelai dan waktu inkubasi terhadap komponen volatil dan bahan kimia lainnya dalam yogurt serta pengaruhnya terhadap daya terima konsumen dan kesehatan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi Offset. Yogyakarta.

Astuti, M. 1980. Rancangan Percobaan dan Analisa Statistik. Bag. I. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Buckle, K.A., R.A.Edward, G.H. Fleet and M. Wotton. 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta.

Davendra, C. 1980. Milk Production Goat Compared to Buffalo and Cattle in Humid Tropics. J. Dairy Sci. 63:1755-1767.

Euber, J.R. and J.R. Brunner. 1979. Determination of Lactose in Milk Products by High Performance Liquid Chromatography. J. Dairy Sci. 62:685-690.

Goodenough, E.R. dan D.H. Kleyn. 1975. Qualitative and Quantitative Changes in Carbohydrates During the Manufacture of Yoghurt. J. Dairy Sci. 59.

Hui,Y.H. 1993. Principles and Properties. Vol. I.VCH Publ. Inc.USA.

Jennes, R. dan S. Patton. 1985. Lactation. Ch. 5 BL. Larson, ed Iowa State Universisy Press. Ames.

Kosikowski. 1977. Cheese and Ferment Milk Products. 4th. Ed. Edward Brothers. Inc. New York. USA.

Lampert, L.M. 1970. Modern Dairy Product I. Chemical Publishing Company Inc. New York. USA.

Muti, T.W. 1993. Growth Sensory and Biochemical Effects of Fermented Soymilk Using Lactid Acid Bacteria and Bifidobacteria, as Compared to Those of Fermented Cowmilk. These S-3. Universite De Caen. Perancis.

Rystad, G and R.K.Abrahamsen. 1987. Formation of Volatile Aroma Compounds and Carbondioxide in Yogurt Starter Grown in Cow’s Milk and Goat’s Milk. J.Dairy Res. 54:257-266.

Tamime, A.Y. and H.C.Deeth. 1980. Yogurt: Technology and Biochemistry. J. Food Protect. 43:939-977.

Toba, T., K.Arihara, and S.Adachi. 1982. Quantitative Changes in Sugar, Especially Oligosaccharides, During Fermentation and Storage of Yogurt. J. Dairy Sci. 66:17-19.

Diambil dari
Proceding Seminar Hasil-hasil Penelitian Propinsi Jawa Tengah, Juni 2003.